REPUBLIKA.CO.ID, Milton Friedman, mendiang ekonom peraih Nobel dan penganjur berat kapitalisme pasar bebas yang kerap disebut bapak neoliberal serta arsitek ekonomi pasar di banyak negara termasuk Indonesia pada era Soeharto, pernah menyusunkan program liberalisasi ekonomi Partai Komunis China ketika penguasa negeri ini memutuskan beralih ke pasar bebas.
Naomi Klein dalam bukunya Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism menyebutkan bahwa pada 1980 pemimpin China saat itu Deng Xiaoping mengundang Friedman datang untuk memberi kuliah fundamental teori pasar bebas kepada ratusan pejabat teras, profesor dan ekonom partai.
Friedman sendiri punya misi menjelaskan kepada China bahwa "betapa kehidupan rakyat biasa di negara kapitalis itu jauh lebih baik ketimbang di negara komunis."
Deng Xiaoping yang punya falsafah terkenal "tak masalah kucing itu putih atau hitam yang penting bisa menangkap tikus", terobsesi dengan ekonomi berbasis-korporat swasta itu.
Bagi negara komunis yang mengharamkan kepemilikan pribadi, ide mendorong sektor swasta agar mengambil peran besar dalam membangun perekonomian adalah aneh sekali, kalau bukan disebut paradoks.
Namun China berangsur-angsur memeluk pasar bebas sampai menjadi negara berpostur ekonomi yang hanya kalah dari Amerika Serikat.
Tak ada preseden seperti ini baik dalam dogma maupun praktik komunisme di mana pun. Lebih unik lagi, 'kapitalisme model China' menghasilkan individu-individu yang menghimpun harta luar biasa banyak yang sebelumnya tak terbayangkan terjadi di sebuah negara komunis.
Ini anomali China. Sampai kemudian ada konsensus di antara pakar bahwa China sebenarnya adalah negara kapitalis. Salah satunya cirinya adalah bermunculan pribadi-pribadi kaya raya bagai kecambah di China, seperti yang biasa ditemui di negara-negara kapitalis liberal.