REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis mendesak pemerintahan Trump untuk membatalkan keputusannya menetapkan kelompok pemberontak Houthi di Yaman sebagai kelompok teror. PBB memperingatkan bahwa langkah itu dapat memperburuk krisis kemanusiaan yang mengerikan di negara itu.
Kepala bantuan kemanusiaan PBB Mark Lowcok mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa keputusan itu akan mendorong negara miskin itu ke dalam "kelaparan besar dalam skala yang belum pernah kita lihat selama hampir 40 tahun".
Yaman, yang dilanda konflik perang sipil yang diperburuk oleh kepentingan regional sejak 2014, mengimpor 90 persen makanannya melalui jalur perdagangan. Sementara Houthi mengontrol perdagangan di wilayah yang mereka kuasai.
AS mengumumkan keputusan tersebut, yang akan berlaku pada hari terakhir masa jabatan Donald Trump Selasa depan. Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan penunjukan itu dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban kelompok pemberontak itu atas tindakan terorisnya, termasuk serangan lintas batas yang mengancam populasi sipil, infrastruktur, dan pengiriman barang.
Houthi adalah otoritas de facto di seluruh wilayah negara yang sangat miskin dan langka makanan itu, dan kekhawatiran telah meningkat saat penunjukan sebagai organisasi teroris itu dapat menghambat distribusi bantuan yang sangat dibutuhkan selama bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Sadar akan kekhawatiran berulang yang disuarakan oleh PBB dan kelompok kemanusiaan, Pompeo mengatakan AS akan mengeluarkan izin untuk mengecualikan "aktivitas kemanusiaan tertentu dan impor ke Yaman". Lowcock mengatakan bahwa rencana itu tidak cukup untuk mencegah dampak kemanusiaan yang membayang dari keputusan AS.
Yaman dilanda kekerasan dan ketidakstabilan sejak 2014, ketika pemberontak Houthi yang berpihak pada Iran menguasai sebagian besar negara, termasuk ibu kota Sanaa.
Krisis meningkat pada 2015 ketika koalisi pimpinan Saudi meluncurkan kampanye udara yang bertujuan untuk menggulung kembali kemenangan teritorial Houthi. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, konflik tersebut telah merenggut 233.000 jiwa.