REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi membutuhkan rata-rata 82 hari kerja atau 122 hari kalender untuk menyelesaikan satu perkara pada 2020. "Atau, selaras atau setara 3,9 bulan per perkara," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pleno khusus laporan tahunan 2020 yang disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (21/1).
Untuk membantu penyelesaian perkara, Anwar Usman mengatakan pada masa pandemi Covid-19, lembaga yang dipimpinnya menggunakan piranti kerja pendukung berbasis teknologi informasi komunikasi modern. Dengan piranti itu, proses penanganan perkara, mulai dari pengajuan permohonan dan sidang hingga pengucapan putusan dapat dilakukan secara daring.
Anwar Usman mengatakan secara faktual, jangka waktu penyelesaian perkara tersebut lebih cepat dibandingkan 2019, yakni waktu yang dibutuhkan adalah 93 hari kerja atau setara 4,4 bulan per perkara. Menurut dia, catatan waktu penyelesaian perkara itu menunjukkan kinerja Mahkamah Konstitusi yang semakin meningkat serta komitmen dalam mempercepat penyelesaian perkara.
Selain kinerja itu, Mahkamah Konstitusi dikatakannya menerima Anugerah Keterbukaan Informasi Publik dari Komisi Informasi Pusat, Piagam Penghargaan Penyelamatan dan Pelestarian Arsip, dan Penghargaan sebagai Anggota Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Terbaik V Tahun 2020 Kategori Lembaga Negara.
"Pujian dan kritik tidak terhindarkan karena kedua hal tersebut bertali-temali termasuk MK yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman sehingga ketika menjatuhkan sebuah putusan tidak mungkin bisa untuk memuaskan semua pihak," ucap Anwar Usman.