REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria, Fergi Nadira, Antara
Hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China diprediksi akan tetap tegang meski Paman Sam kini tak lagi di bawah komando Donald Trump. Presiden Joe Biden diperkirakan akan menghadapi China yang semakin percaya diri usai penyerangan ke Capitol Hill awal bulan ini.
Mantan diplomat AS, Kurt Tong, mengatakan, China akan melanjutkan apa yang mereka lakukan sekarang dan AS tidak akan senang dengan hal itu. "Saya pikir, ini akan menjadi masa yang sulit, akan lebih banyak ketidaksepakatan dibandingkan kesepakatan dan tidak banyak kemajuan," kata mantan konsul jenderal AS untuk Hong Kong dan Makau tersebut, dikutip Jumat (22/1).
China diprediksi akan memukul balik tekanan mengenai teknologi, teritorial, dan hak asasi manusia. Para pengamat menarik titik awalnya mulai dari krisis keuangan 2008 saat perekonomian China tidak banyak terdampak. Sejak itu, kebijakan luar negeri mereka semakin agresif.
Beijing menggelar operasi maritim di perairan yang disengketakan di China Laut Selatan. Menggunakan Twitter untuk menyerang balik kritik. Keberhasilan China dalam mengendalikan pandemi juga membuat mereka semakin percaya diri menghadapi AS.
Namun, AS juga berubah. Kini, sikap memperlakukan China sebagai pesaing mendapat dukungan yang luas baik dari Partai Republik maupun Demokrat. Hal tersebut mendorong tindakan yang semakin keras ke Negeri Tirai Bambu.
Meski tidak selalu sepakat dengan cara Donald Trump memperlakukan China tetapi Biden harus berhati-hati bila memperlunak sikap dengan mencabut sanksi impor yang diambil Trump. Jika Biden memprioritaskan tantangan-tantangan dalam negeri maka China memiliki ruang untuk mendorong agenda-agendanya baik di bidang teknologi atau isu-isu teritorial mulai dari Taiwan hingga perbatasan dengan India.
Awalnya, pandemi yang menutup Kota Wuhan pada awal 2020 dianggap ancaman serius bagi kepemimpinan Presiden Xi Jinping. Namun, kini justru menjadi salah satu kisah sukses negara yang berhasil mengendalikan pandemi.
Partai Komunis menggunakan pandemi untuk membenarkan sistem satu partai, negara otoritarian yang sudah memerintah selama lebih dari 70 tahun. Sementara membungkam jurnalisme warga dan pihak yang mengungkapkan kebenaran seputar pandemi.
"Akan lebih sulit bagi mereka untuk mendorong narasi di seluruh dunia bila Amerika Serikat tidak melakukan pekerjaan yang buruk," kata Direktur China Power Project di lembaga think tank Center for Strategic & International Studies, Bonnie Glaser.
"Tema itu melalui banyak isu, China hanya dapat menunjukkan Amerika Serikat dan demokrasi secara umum tidak bisa memimpin dengan benar," tambah Glaser, dikutip dari AP.
Di sisi lain, Pemerintah China sangat berharap hubungannya dengan Amerika segera pulih di bawah pemerintahan baru Joe Biden. "China mengucapkan selamat atas pelantikan Presiden AS Joe Biden dan menyerukan kebangkitan kembali kemitraan China-AS," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, di Beijing, Kamis (21/1).
Jubir Kemenlu China itu merasa yakin adanya Dewi Fortuna atau keberuntungan yang menaungi kedua negara. Hua juga menyambut positif sejumlah perintah eksekutif Biden, di antaranya AS kembali menyetujui Kesepakatan Paris dan kembali sebagai anggota aktif di Organisasi Kesehatan Dunia (WTO).
"Media di AS menggambarkan pelantikan Presiden AS Joe Biden sebagai lembaran yang baru dalam sejarah AS. Memang, China dan AS berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik setelah masa-masa sulit dan tidak biasa," ujarnya.
Menurut Hua, hubungan bilateral China-AS terganggu dalam empat tahun terakhir karena adanya beberapa politikus AS yang mendorong aliansi anti-China. Padahal, lanjut dia, kedua negara ekonomi besar itu perlu bergandengan tangan agar lebih banyak berkontribusi kepada dunia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat hubungan Amerika dan China akan tetap memanas di era pemerintahan Joe Biden. "Pergantian pemimpin di AS dari Donald Trump ke Joe Biden disambut baik China. Jubir Kementerian Luar Negeri China mengungkap optimisme ini dengan mengatakan 'malaikat baik hati dapat menang atas kekuatan jahat'. Namun, optimisme China tersebut bisa jadi tidak terwujud," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan tertulis, Jumat.
Dia mengatakan, ada tiga alasan utama hubungan AS dan China akan tetap panas pada masa pemerintahan Joe Biden. Pertama, dalam acara angkat sumpah Joe Biden sebagai Presiden AS, perwakilan dari Taiwan diundang hadir. Padahal, pemerintah China berupaya agar negara-negara di dunia hanya mengakui satu China yaitu People's Republic of China.
"Pemerintahan di Taiwan yang menamakan diri sebagai Republic of China dalam perspektif pemerintah China merupakan bagian darinya," kata Hikmahanto.
Dia lebih lanjut mengatakan undangan kepada perwakilan Taiwan untuk menghadiri pelantikan Joe Biden bisa dianggap sebagai tindakan tidak bersahabat Biden terhadap China. Kedua, lanjut Hikmahanto, meski terjadi perubahan kepemimpinan di AS, para birokrat AS tetap menjabat dalam kabinet pemerintahan.
"Para pejabat inilah yang akan memastikan kebijakan terhadap China pada masa Trump akan tetap dilanjutkan pada masa pemerintahan Biden," ujar dia.
Terakhir, Hikmahanto mengatakan, banyak negara-negara sekutu AS menghendaki adanya perimbangan kekuatan (balance of power) dalam bentuk rivalitas AS-China daripada kemesraan kedua negara. "Hanya saja dalam era pemerintahan Biden, berbeda dengan Trump yang berasal dari Partai Republik, rivalitas ini akan lebih lunak sesuai gaya kepemimpinan Presiden asal Partai Demokrat," kata dia.