REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi menjaga persaingan usaha yang sehat, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja selalu mencantumkan pertimbangan persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar).
Saat FGD RPP Postelsiar dalam Perspektif Persaingan Usaha yang Sehat yang dilaksanakan Kolegium Jurist Institute pertengahan pekan ini, Dr. Guntur Syahputra Saragih, M.S.M, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan setidaknya 6 kali pertimbangan persaingan usaha yang sehat muncul dalam RPP Postelsiar. Namun Guntur menyayangkan lembaga yang seharusnya memberikan pertimbangan persaingan usaha tidak dijelaskan secara spesifik.
Meski demikian, Guntur tetap menyambut baik dimasukkannya substansi persaingan usaha yang sehat di RPP Postelsiar. Menurutnya Persaingan Usaha memiliki ketersinggungan yang tinggi baik di Undang-Undang Cipta Kerja maupun dalam RPP Postelsiar sebagai pengaturan turunannya. Sehingga KPPU siap membantu dalam proses penyusunannya.
“Kami mengapresiasi di antara semua RPP, RPP Postelsiar paling banyak menyebutkan kata mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat. Ada pasal 19, pasal 24, pasal 31 ayat 2 dan ayat 4, pasal 49, dan pasal 55. Namun siapa yang mempertimbangkan?” kata Guntur.
Lanjut Guntur, ada beberapa pasal di RPP Postelsiar yang perlu dicermati mendalam. Jika tidak dicermati secara mendalam, justru pasal di RPP Postelsiar ini berpotensi mengganggu persaingan usaha yang sehat.
Contohnya network sharing aktif. Jika ini tak dicermati dan tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional yang lebih luas, menurut Guntur pasal tersebut berpotensi menghambat pengembangan jaringan telekomunikasi. Sehingga KPPU bersedia terlibat dalam penyusunan RPP Postelsiar ini.
"Jangan sampai kita berempati kepada efisiensi operator semata. Tapi justru mengorbankan saudara kita yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi," kata dia.
Kalau semua operator sharing di daerah yang sudah ada jaringannya, kata Guntur melanjutkan, dampak jangka panjangnya tak akan ada operator yang mau membangun infrastruktur di daerah. "Selain itu operator telekomunikasi tak lagi memiliki daya saing. Mereka berpikiran hanya sharing saja tanpa mau bersaing lagi," ucap Guntur.
Karena itu menurut dia, dalam persaingan di RPP Postelsiar, KPPU akan melihat kepentingan nasional yang lebih luas lagi. Yaitu mewujudkan coverage telekomunikasi yang merata di seluruh Indonesia. "Kehadiran pelaku usaha telekomunikasi tidak hanya untuk persaingan saja tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas. Ini sesuai pasal 3 UU 5 tahun 1999," kata Guntur.
Guntur menjelaskan di RPP Postelsiar, persaingan memang sedikit dilonggarkan. Misalnya sharing frekuensi untuk teknologi baru. Sharing frekuensi di teknologi baru ini merupakan insentif yang diberikan negara kepada pelaku usaha telekomunikasi.
Insentif yang diberikan negara tersebut dinilai Guntur wajar. Sebab ini ditujukan untuk percepatan adopsi teknologi baru di industri telekomunikasi agar dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.
Karena peran KPPU untuk mengawasi persaingan usaha yang sehat belum dicantumkan dalam RPP Postelsiar, Dr. Nasrudin, SH, MH, pejabat Kementrian Hukum dan HAM yang terlibat dalam proses serap aspirasi RPP Postelsiar, berjanji akan menyampaikan masukan FGD mengenai peran KPPU dalam RPP Postelsiar di rapat harmonisasi antar Kementerian.
"Kami mengakui sampai saat ini belum mencantumkan lembaga yang akan mengawasi persaingan usaha. Masukan ini sangat realistis dan logikanya tepat. Usulan untuk memasukkan KPPU di dalam RPP Postelsiar akan saya bawa saat harmonisasi di Kumham. Nanti kita bisa memasukkan pengaturan peran KPPU di RPP Postelsiar, dan di RPP nya KPPU mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," ujar Nasrudin menerangkan.
Nasrudin mengharapkan dengan dimasukkannya peran KPPU di RPP Postelsiar dan RPP KPPU, dapat memperkuat peran pengawasan KPPU. Sehingga nantinya peran KPPU tak hanya penegakkan hukum, tetapi lebih kepada pencegahan terjadinya kasus monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sehingga nantinya para pihak yang akan melakukan merger, akusisi atau kerja sama usaha mendapatkan pertimbangan atau rekomendasi terlebih dahulu dari KPPU.