REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Aturan memakai jilbab di SMKN 2 Padang baru-baru ini menjadi polemik dan menuai berbagai komentar. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat (Sumbar), Buya Gusrizal Gazahar, menilai, isu tersebut seperti di-framing dan dibesar-besarkan.
"Kenapa (seperti) framing, kan sudah ada tokoh-tokoh di Jakarta yang begitu gampang menuduh ini antikebinekaan, ini intoleran, apakah mereka sudah mendengarkan kronologisnya (yang terjadi di SMKN 2 Padang)," kata Buya Gusrizal kepada Republika.co.id, Ahad (24/1).
Ia menyampaikan bahwa investigasi yang dilakukan Dinas Pendidikan sedang berjalan. Tapi, mengapa sudah ada orang yang menyimpulkan kasus ini adalah kasus antikebinekaan. Apakah ini bukan disebut framing?
Terkait komentar sejumlah pihak di Jakarta mengenai polemik aturan memakai jilbab di SMKN 2 Padang, Buya Gusrizal mengingatkan, pejabat-pejabat di Jakarta kalau memang hidup berbangsa dan bernegara, tolong sebelum berbicara sebaiknya pertimbangkan dulu dengan matang. Sebelum mengambil kesimpulan tertentu, pertimbangkan dan cari tahu dulu kebenarnnya.
"Saya telah konfirmasi ke pihak pemerintah daerah apa yang sebenarnya terjadi (di SMKN 2 Padang)," ujarnya.
Baca juga : Jilbab SMKN 2 Padang, Nadiem: Pemerintah tidak Maklumi
Buya Gusrizal kecewa terhadap orang yang berkomentar ada pemaksaan pakai jilbab terhadap siswi non-Muslim di Padang. Ia mempertanyakan di mana unsur pemaksaan itu dan dari mana muncul istilah pemaksaan itu. Padahal, siswi non-Muslim tidak dipaksa memakai jilbab dan tidak ada hukuman untuk mereka yang tidak memakai jilbab.
"Coba buktikan oleh orang yang menuduh ini pemaksaan. Jadi, saya melihat ini bukan hanya perkara SMK itu saja, ini ada masalah lain yang ditujukan ke Sumatra Barat," jelasnya.
Buya Gusrizal menegaskan, di dalam aturan-aturan yang ada di kota/ kabupaten di Sumbar, tidak ada satu butirpun aturan yang memaksa non -Muslim untuk berpakaian Islam. Ia menambahkan, jangan hal seperti di SMKN 2 Padang di-framing menjadi besar sehingga seolah-olah Sumbar dianggap daerah intoleransi.
"Saya minta pejabat yang asal ngomong itu datang ke Sumbar, ayo kita bertemu, jangan hanya menerima laporan apalagi hanya membaca dari informasi yang belum akurat, ayo datang kalau memang kita satu bangsa, kita satu negara, mari kita dialog dulu," ujarnya.
Buya Gusrizal juga mengatakan, di Sumbar agama dan tradisinya sudah menyatu. Karena itu konsep Adat Basandi Syara jangan ditawar kalau benar Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika itu bukan menyeragamkan, tapi memahami perbedaan.
Baca juga : Jadi Korban Rasisme, Begini Respons Natalius Pigai
"Kita tetap satu, satu bangsa, (tapi) di Sumbar memang itu yang berjalan kearifan lokal itulah perbedaan, jangan ada yang memaksa minta dicabut," katanya.
Mantan wali kota Padang 2004-2014, Fauzi Bahar mengatakan persoalan aturan memakai jilbab di SMKN 2 Padang yang belakangan menjadi polemik disebabkan adanya miskomunikasi. Yaitu antara pihak guru dan wali murid.
Fauzi menyebut aturan memakai pakaian Muslimah di sekolah negeri di Padang sudah dibuat saat dirinya masih menjabat sebagai orang nomor satu Kota Padang. Aturan yang dikeluarkan Fauzi pada 2005 lalu kewajiban memakai seragam berjilbab hanya untuk siswi Muslim. Bagi yang non-Muslim hanya bersifat imbauan atau menyesuaikan.