REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren adalah lembaga pendidikan tua yang telah berjasa dalam mencerdaskan umat di bumi Nusantara. Pesantren di setiap daerah memiliki banyak nama tetapi memiliki ciri khas yang sama.
Selama berabad-abad, ciri khas pesantren tidak terhapus oleh zaman, tetapi pesantren selalu menyesuaikan diri dengan zaman. Dalam perjalanannya selama seratus tahun terakhir, ciri khas pesantren tetap ada. Meski perkembangan zaman dan kemajuan teknologi begitu banyak mengalami perubahan.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Suwadi D Pranoto menjelaskan, pesantren memiliki perjalanan dakwah yang panjang di Asia Tenggara. Pesantren di Sumatera Barat disebut surau dan di Aceh disebut dayah, di Thailand juga terdapat pesantren seperti yang ada di Nusantara.
"Soal penggunaan istilah pesantren, surau atau dayah itu hanya istilah di suatu daerah atau kawasan saja, biasanya titik temunya di tradisi sanad, tradisi genealogi keilmuannya itu ketemu," kata Kiai Suwadi kepada Republika, Jumat (29/1).
Ia mengatakan, karena titik temunya di tradisi sanad maka biasanya kitab-kitab yang dipakai pesantren, surau maupun dayah sama atau paling tidak mirip. Jadi pesantren-pesantren di Indonesia dari barat sampai ke timur, kitab-kitab yang dirujuknya atau standar kitab-kitab yang dipakainya sama.
Sekalipun mayoritas Muslim di Asia Tenggara bermazhab Syafi'iyah. Tapi dalam hal tasawuf akan saling bertemu. Mungkin memang ada varasi dalam hal fikih, tapi rata-rata Muslim di Asia Tenggara sama fikihnya.
Ia mencontohkan pesantren di Thailand dan di Jawa Timur memiliki metode belajar bahasa Arab yang sama. Karena titik temu atau kesamaan-kesamaan itulah jaringan pesantren memiliki komunikasi yang intens. Mereka juga saling bertemu saat musim haji tiba. Itulah tradisi yang terpelihara selama 400 tahun.
"Itulah mengapa pesantren di organisasi Nahdlatul Ulama dan (ormas lainnya) itu saling bertemu, karena kitab-kitab yang dipakainya sama dan ulama yang dirujuknya juga saling bertemu," ujarnya.