REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Kejahatan kehutanan, khususnya pembalakan liar (illegal logging), di Sulawesi Selatan meningkat pada masa pandemi Covid-19. Polanya antara lain memanfaatkan masyarakat lokal sekitar hutan untuk melakukan pembalakan.
"Sementara penegakan hukum umumnya sampai pada pelaku lapangan dan jarang menyentuh pedagang kayu maupun aktor di belakang layar," kata Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif pada jumpa media di Kafe Baca, Makassar, Sabtu (30/1).
Dia mengatakan dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat Jurnal Celebes selama pandemi, hampir semua pelaku yang diproses hukum, adalah warga masyarakat yang ditangkap karena menebang atau mengangkut kayu. Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.
Sedangkan pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar.
Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan sebagai pelaku, pihak kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar.
Menurut dia, pebisnis atau penjual kayu tampaknya memanfaatkan kesempatan di masa pandemi. Ketika aktivitas masyarakat dibatasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (SBB), atau dalam skala terbatas, momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan pembalakan di hutan, karena situasi relatif aman.
"Kesempatan di masa pandemi bukan hanya dilakukan para pedagang kayu. Masyarakat lokal sekitar hutan yang pendapatannya berkurang akibat dampak pandemi, juga terpicu memanfaatkan situasi ini," ujar Mustam.