Selasa 09 Feb 2021 07:31 WIB

Demonstrasi Meluas, Militer Myanmar Berlakukan Jam Malam

Militer juga melarang pertemuan lebih dari lima orang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
 Polisi anti huru hara bersenjata berjaga-jaga saat para demonstran memberi hormat tiga jari, simbol perlawanan, selama protes terhadap kudeta militer di Naypyitaw, Myanmar, Senin (8/2).
Foto: EPA-EFE/MAUNG LONLAN
Polisi anti huru hara bersenjata berjaga-jaga saat para demonstran memberi hormat tiga jari, simbol perlawanan, selama protes terhadap kudeta militer di Naypyitaw, Myanmar, Senin (8/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Penguasa militer telah memberlakukan jam malam di dua kota besar di Myanmar, dan melarang pertemuan lebih dari lima orang. Keputusan itu diambil sebagai langkah untuk menghentikan aksi protes terhadap kudeta militer yang semakin meluas.

Dalam pidato yang disiarkan di televisi Jenderal Senior Min Aung Hlaing meminta publik untuk memprioritaskan fakta bahwa ada penyimpangan yang diabaikan dalam pemilihan umum pada November lalu. Jenderal Min menyampaikan pernyataan tersebut untuk pertama kali sejak dia memimpin kudeta terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi yang memicu kecaman internasional.

Baca Juga

Militer telah mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun dan langkah-langkah pembatasan baru, termasuk larangan demonstrasi. Darurat militer juga diberlakukan di Yangon dan Mandalay serta kota-kota lain di Myanmar.

Pada Senin (8/2), militer memperingatkan akan melakukan tindakan terhadap pengunjuk rasa. Militer menyatakan bahwa ada pelanggaran hukum dan ancaman kekerasan oleh kelompok-kelompok yang "menggunakan alasan demokrasi dan hak asasi manusia".

“Tindakan harus diambil sesuai dengan hukum dengan langkah-langkah efektif terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum,” kata pernyataan yang dibacakan oleh penyiar di MRTV yang dikelola negara.

Baca juga : Bob, Kisah Rabi Yahudi yang Jadi Mualaf karena Makanan

Dalam pidatonya, Min Aung Hlaing mengatakan, pemerintah militer akan membentuk "demokrasi yang benar dan disiplin" yang berbeda dengan era pemerintahan militer sebelumnya. Jenderal senior tersebut mengatakan pemerintah militer akan mengadakan pemilihan umum baru seperti yang dijanjikan dalam satu tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang nantinya terpilih.

Penulis buku Myanmar's Rohingya Genocide, Ronan Lee mengatakan kepada Aljazirah bahwa pidato Min Aung Hlaing tidak mempedulikan kemarahan rakyat Myanmar yang telah ditunjukkan melalui aksi protes besar-besaran. Demonstrasi menentang kudeta telah menyebar ke sejumlah kota. Mereka mengecam tindakan militer termasuk penangkapan Suu Kyi dan tokoh-tokoh politik berpengaruh lainnya.

“Ratusan ribu bahkan jutaan orang telah memprotes tentang kudeta tersebut dan tanggapan Min Aung Hlaing secara mengejutkan tampaknya menyalahkan pemerintah yang dipilih secara demokratis karena tidak berkomitmen secara tepat terhadap demokrasi sebagai salah satu penyebab kudeta,” kata Lee.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement