REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap pertengahan Februari atau tepatnya tanggal 14 Februari masih banyak kaum muda-mudi yang merayakan hari Valentine. Untuk itu, penting bagi orang tua untuk mewaspadainya. Terutama, kegiatan ini, dikhawatirkan mendorong anak-anak dan remaja terjurumus budaya permisif.
Demikian disampaikan oleh Azimah Subagijo, Ketua Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) saat hadir sebagai narasumber dalam Kajian bulanan Perempuan dan Ketahanan Keluarga perdana yang diadakan DKM Masjid Raya Palapa Baitus Salam, Pasar Mingu, Jakarta Selatan.
Lebih jauh Azimah menyampaikan, bahwa kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan. Dia menyampaikan, fakta bahwa sejak sepuluh tahun terakhir, ternyata alat kontrasepsi berupa kondom penjualannya meningkat tajam di malam hari Valentine. “Fenomena ini tentu bukanlah suatu kebetulan semata. Tentunya ada maksud dari orang-orang yang beramai-ramai membeli kondom di momen Valentine tersebut. Apalagi jika bukan untuk melakukan hubungan seks agar tidak hamil,” ujar Azimah dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Ahad (14/2).
Meningkatnya penjualan kondom bila yang membelinya adalah pasangan yang sudah menikah, tentu tidak terlalu mengkhawatirkan. Masalahnya jika ternyata yang membeli justru anak-anak dan remaja yang masih di bawah umur dan belum menikah. Tentunya ini sangat memprihatinkan.
Fenomena ini bisa ditelisik dari adanya himbauan salah satu pemerintah daerah kepada mini market di daerahnya untuk hanya menjual kondom ini pada pembeli yang sudah mempunyai kartu tanda penduduk (KTP). Artinya, besar kemungkinan pembelian kondom selama ini meningkat di malam hari Valentine karena adanya pembelian dari muda-mudi yang berusia di bawah umur dan/atau belum menikah.
Oleh karena itu, Azimah menghimbau, agar orang tua dan kalangan pendidik tetap mewaspadai dan memberi pemahaman yang benar kepada anak-anak dan remaja tentang fenomena perayaan Hari Valentine agar terhindar dari budaya permisif dalam hal ini pergaualan bebas.
“Saat ini pemerintah sedang giat mengkampanyekan setop pernikahan usia anak. Namun sayangnya, justru angka dispensasi di beberapa daerah untuk menikah di bawah ketentuan Undang-Undang Pernikahan masih cukup tinggi. Salah satu pemicu terbesarnya adalah pergaulan bebas,” ungkap Azimah.
Perilaku Remaja di masa pandemik
Bagaimana dengan perilaku remaja di masa panemik? Meskipun saat ini negara kita sedang mengalamai pandemik Covid 19, bukan berarti orang tua lengah untuk mengawasi perilaku anak-anak dan remajanya. Pada paparan materinya, Azimah juga menyampaikan bahwa fakta dan data perilaku menyimpang remaja di saat pandemik ternyata masih mengkhawatirkan. Bahkan berdasarkan data dari salah satu kota di Jawa tengah terungkap bahwa angka kehamilan di luar nikah selama pandemik naik 250 persen.
Begitu juga penyimpangan perilaku remaja lainnya mulai dari tawuran, pesta miras, narkoba dan pesta seks masih terjadi selama pandemik. Hal ini ternyata para remaja tersebut meskipun masih bersekolah dari rumah, mereka ternyata tidak selalu berada di rumah.
Para remaja ini masih sering meluangkan waktu berkumpul dengan teman-temannya melakukan perilaku menyimpang tadi dengan alasan melepas stress. Oleh karena itu, bukan hanya orangtua namun peran sekolah dan pendidik juga menjadi penting untuk mengantisipasi perilaku remaja yang mengkhawatirkan ini.