REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam serangan terhadap wartawan dan aktivis hak asasi manusia Afghanistan. Serangan dilancarakan pada saat dialog sangat dibutuhkan di tengah pembicaraan mengakhiri perang dua dekade di sana.
Menurut Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan Deborah Lyons, warga Afghanistan membutuhkan dan pantas memiliki ruang sipil yang terus berkembang. Yakni sebuah masyarakat di mana orang-orang dapat berpikir, menulis, dan menyuarakan pandangan mereka secara terbuka, tanpa rasa takut.
"Suara pembela hak asasi manusia dan media sangat penting bagi masyarakat yang terbuka dan layak," kata Lyons, Senin (15/2).
Laporan PBB menyebutkan sebanyak 65 pembela hak asasi manusia dan profesional media tewas pada rentang waktu 1 Januari 2018 hingga 31 Januari 2021. Lima aktivis hak asasi manusia dan enam jurnalis tewas dalam empat bulan setelah perundingan damai dimulai di Doha pada September lalu.
Reuters dalam laporannya menyebut Afghanistan sedang mengalami gelombang baru "sasaran individu yang disengaja dan direncanakan dengan pelakunya tetap anonim". Serangan itu menyasar para profesional untuk berhenti dari pekerjaan mereka dan meninggalkan rumah mereka, serta jurnalis untuk melakukan sensor diri.
Banyak dari serangan itu melibatkan bahan peledak rakitan kecil yang disebut "bom lengket", yang biasanya dipasang di bagian bawah kendaraan.
Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban memulai pembicaraan damai di Doha pada September 2020, tetapi sebagian besar perundingan terhenti. Sementara itu, Amerika Serikat (AS) sedang meninjau kesepakatan yang memungkinkan tentara Barat meninggalkan Afghanistan pada Mei mendatang.