Sabtu 20 Feb 2021 11:44 WIB

Rektor IPB: Pertanian Harus Jadi Lokomotif Ekonomi Indonesia

Sektor pertanian terbukti eksis di era pandemi.

Rektor IPB University, Prof  Dr Arif Satria memberikan  Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Sabtu (20/2).
Foto: Dok IPB University
Rektor IPB University, Prof Dr Arif Satria memberikan Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Sabtu (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Rektor IPB University, Prof  Dr Arif Satria mengapresiasi capaian sektor pertanian Kabinet Indonesia Maju utamanya di masa pandemi Covid-19. Hal ini didasarkan pada fakta dan data bahwa pertanian merupakan sektor yang memberikan andil besar atau penopang perekonomian nasional.

"Sesuai data yang dirilis BPS,  sektor pertanian pada kuartal IV-2020 tumbuh sebesar 2,59 persen secara year on year (yoy), di mana subsektor pendukung utamanya adalah tanaman pangan sebesar 10,47 persen. Semoga kenaikan ini berlanjut hingga tahun 2021. Karena sektor teknis lainnya anjlok maka sektor pertanian menjadi penyelamat perburukan resesi ekonomi kuartal III," demikian diungkapkan Prof Arif  saat memberi Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Sabtu (20/2).

Prof Arif menekankan keberhasilan kebijakan dan program sektor pertanian tak hanya dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), namun demikian diikuti juga dengan kinerja ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kinerja ekspor pertanian tahun 2020 mengalami kenaikan 15,78 persen dari tahun sebelumnya, yakni Rp 390,16 triliun menjadi Rp 451,77 triliun. “Ini artinya pemerintah beserta pemangku kepentingan, khususnya petani, mampu menjaga sektor pertanian tetap eksis dalam menyelamatkan ekonomi nasional,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Ketahanan pangan

Arif membeberkan indeks ketahanan pangan Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data  Global Food Security Index, indeks ketahanan pangan di Indonesia kurun waktu 2014-2019 mengalami kenaikan dan terus membaik. Pada tahun 2014 mencapai 46,5 indeks, tahun 2018 mencapai 54,8 indeks dan 2019 mencapai 62,6 indeks. Sehingga,  Indonesia pada 2019 menduduki peringkat 62 dari 113 negara dunia atau peringkat 12 dari 23 negara Asia Pasifik.  Posisi ini meningkat tajam dari sebelumnya di ranking 71 tahun 2016 (naik sembilan  tingkat dalam waktu tiga  tahun).

Arif menegaskan bahwa indeks ketahanan pangan berbeda dengan indeks keberlanjutan pangan karena keduanya memiliki indikator yang berbeda. Indeks ketahanan pangan diukur dari 4 kelompok indikator, yakni keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, serta ketahanan sumberdaya alam. Sementara itu indeks keberlanjutan pangan diukur dengan tiga kelompok indikator yaitu  penyusutan dan limbah pangan (food loss and waste), pertanian berkelanjutan, dan beban masalah gizi.

Kedua indeks tersebut diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), dan indeks yang terbaru adalah berasal dari data tahun 2019 dan 2018. Artinya kedua Indeks tersebut menggambarkan situasi pada tahun tersebut. 

Lebih lanjut Prof Arif menyebutkan terkait posisi Indonesia tahun 2018 yang lebih rendah dari Ethiopia itu adalah indeks keberlanjutan pangan dan bukan indeks ketahanan pangan. Sementara itu berdasarkan indeks ketahanan pangan untuk tahun yang sama, posisi Indonesia lebih tinggi dari Ethiopia, Filipina, Pakistan, dan sejumlah negara berkembang lainnya. 

Arif  menyoroti perlunya memanfaatkan momentum pandemi ini untuk memperkuat kedaulatan pangan. Kebijakan ekonomi perlu difokuskan untuk memajukan pertanian agar pangan tercukupi, lapangan kerja makin terbuka, kemiskinan menurun, dan devisa meningkat. “Artinya pertanian harus menjadi lokomotif ekonomi nasional dan sumber kemakmuran bangsa,” paparnya. 

Arif menegaskan, strategi pembangunan pertanian dan pangan hendaknya secara konsisten menggunakan pendekatan sistem pangan berkelanjutan karena besarnya tantangan ketahanan pangan dan gizi ke depan. Dengan pendekatan ini akan terjadi sinergi dan harmonisasi kebijakan dan program pembangunan  pangan lintas sektor bukan hanya untuk kepentingan saat ini, tetapi juga untuk masa depan. 

“Kita bersyukur pendekatan sistem pangan berkelanjutan ini telah diadopsi dan  menjadi ruh dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk bidang pertanian dan pangan sehingga diharapkan ketahanan pangan kita akan semakin menguat dan berkelanjutan di masa depan,” tuturnya.

Menurutnya, di sinilah diperlukan strategi baru agro-maritim 4.0, sebagai bentuk respons terhadap perkembangan Revolusi Industri 4.0. Prof Arif menegaskan perlunya percepatan transformasi menuju agro-maritim 4.0.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement