Cina harus memberikan "akses yang berarti" kepada penyelidik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berusaha menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum minoritas Uighur, ujar kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell hari Selasa (23/02).
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet ingin mengirim tim ke Xinjiang, di barat laut Cina, untuk menyelidiki laporan tersebut.
"Kami mendesak Cina untuk mengizinkan akses luas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi Bachelet," kata Borrell kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Kunci transparansi
"Ini adalah kunci untuk memungkinkan penilaian yang independen, tidak memihak dan transparan atas keprihatinan besar yang dimiliki komunitas internasional," papar Borrell.
Uni Eropa sendiri mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia karena kesepakatan investasi tentatif dengan Cina yang menurut para kritikus menutup mata terhadap penderitaan orang-orang Uighur.
Pada bulan Januari, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken menuduh Beijing melakukan genosida terhadap minoritas Uighur - sebuah istilah yang dibantah keras oleh Cina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari satu juta muslim Cina, mayoritasnya adalah minoritas Uighur, telah ditahan di kamp-kamp interniran di Xinjiang.
Desakan yang menguat
Komentar Borrell dikemukakan menyusul keputusan parlemen Kanada pada hari Senin (22/02) untuk menyatakan perlakuan Cina terhadap populasi minoritas Uighurnya sebagai tindakan genosida.
Mosi tersebut lolos dengan mendapat suara 266 berbanding 0. Artinya semua partai oposisi dan beberapa anggota parlemen dari Partai Liberal yang memerintah mendukung pernyataan itu.
Sementara itu, kelompok-kelompok HAM meyakini bahwa Cina telah menahan hingga satu juta warga Uighur dan menggunakan mereka sebagai tenaga kerja paksa selama beberapa tahun terakhir di tempat yang didefinisikan negara sebagai "kamp pendidikan ulang."
Mereka juga mengatakan Beijing telah menggunakan sistem pengawasan massal, penahanan, indoktrinasi, dan bahkan sterilisasi paksa.
Pada bulan Desember, Pengadilan Kriminal Internasional menolak permohonan dari Uighur yang hidup di pengasingan untuk menyelidiki Cina atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Para hakim mengatakan pengadilan tidak dapat bertindak karena Cina berada di luar yurisdiksinya.
Laporan terbaru HRW
Sementara itu, lebih dari 250.000 orang telah secara resmi dijatuhi hukuman dan dipenjara sejak 2016, menurut Human Rights Watch.
"Banyak dari mereka di penjara Xinjiang adalah orang biasa yang dihukum karena menjalani hidup mereka dan menjalankan agama mereka," kata peneliti HRW, Maya Wang dalam sebuah pernyataan.
HRW mengatakan hukuman pidana di wilayah tersebut telah melonjak antara 2017 hingga 2019. Pengadilan Xinjiang menghukum hampir 100.000 orang pada 2017, naik dari 40.000 orang pada tahun 2016, kata organisasi itu, dengan mengutip data pemerintah.
Kelompok hak asasi mengatakan polisi, jaksa dan pengadilan telah ditempatkan di bawah tekanan untuk "memberikan hukuman yang cepat dan keras" atas nama kontraterorisme, yang menyebabkan banyak orang dipenjara tanpa melakukan pelanggaran apa pun.
Dikutip dari AFP, hukuman dijatuhkan untuk kegiatan termasuk "memberi tahu orang lain 'apa yang haram dan halal'" dan memberi hadiah kepada kerabat di Turki, kata HRW, yang mencatat bahwa hukuman penjara juga semakin lama.
ap/hp (reuters,afp)