REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Firman Noor, menyoroti terkait kemelut yang terjadi di Partai Demokrat. Menurutnya konflik di Partai Demokrat dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif intervensi dan internal.
"Kalau perspektif pertama itu, ini intinya adalah nuansa kental kepentingan negara. Sedangkan yang kedua ini seputar pengelolaan partai yang dianggap penuh dengan nuansa dinasti dan pelaksanaan dari satu pagelaran kongres yang bermasalah," kata Firman dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, Sabtu (27/2).
Terkait perspektif intervensi, Firman menyebut dalam sejarah kepolitikan di Indonesia, tidak dipungkiri adanya kenyataan bahwa negara melakukan intervensi baik pada saat sebelum terbentuknya sebuah partai, seperti yang terjadi ada di awal orde baru, maupun pada saat suatu partai itu eksis. Bahkan negara juga kerap melakukan intervensi ketika sebuah partai tengah berkonflik.
"Pola intervensi ini ada yang bersifat langsung, langsung diintervensi oleh negara, diganti oleh negara, ada yang melalui proxy intervensi ini. Jadi ada dua varian, langsung dan proxy, proxy ini bisa secara halus memainkan instrumen legal formal, atau pendanaan," ujarnya.
Selain perspektif intervensi, Firman melihat perspektif internal juga tak kalah menarik. Ia menguraikan, ada tiga model konflik internal yang biasa terjadi di suatu partai. Pertama yaitu struktural versus struktural.
"Jadi pertarungan antara orang-orang yang ada di pihak kepengurusan, Misalnya SDA (Surya Dharma Ali) dengan Romy (Romahurmuziy), Gus Dur dengan Matori (Abdul Jalil). Di Golkar juga seperti itu," terangnya.
Kemudian model konflik kedua yaitu struktural versus non struktural atau individual. Hal serupa pernah terjadi antara Fahri Hamzah dengan PKS. Kemudian yang ketiga yaitu model konflik struktural versus kolektif non struktural.
"Saya kira Demokrat sekarang ini cenderung versi yang ketiga," tuturnya.
Imbas dari konflik tersebut akan berujung pada faksionalisasi. Namun dampak rusak yang dimunculkan model konflik struktural versus kolektif non struktural menurutnya tidak akan seberat seperti struktural versus struktural.
"Kalau struktural versus struktural itu berat, itu jauh punya potensi sifatnya lebih cepat, lebih me-nasional dan dampaknya bisa sangat panjang," jelasnya.
Dia menambahkan, dalam konflik sebuah partai akan ada pihak yang menguat karena mendapat dukungan dari pihak eksternal yang berujung adanya kepengurusan ganda. Namun jika kalah dalam pengadilan maka mengarah pada terbentuknya partai baru atau masuk partai lain.
"Apakah nanti Demokrat dengan genderang yang semakin keras ditabuhkan ini akan memunculkan hal yang sama kepengurusan ganda," ucapnya.