REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet prihatin atas terjadinya penggerebekan terhadap pembela hak asasi manusia di Kashmir dan pembatasan komunikasi. Bachelet mengatakan, pembatasan komunikasi dan tindakan keras terhadap aktivis masyarakat sipil di Kashmir tetap menjadi perhatian Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB.
“Meskipun akses 4G baru-baru ini pulih ke telepon seluler, blokade komunikasi telah sangat menghambat partisipasi sipil, serta bisnis, mata pencaharian, pendidikan, dan akses ke perawatan kesehatan dan informasi medis,” ujar Bachelet, dilansir Anadolu Agency, Ahad (28/2).
Oktober lalu, Badan Investigasi Nasional (NIA) India menggerebek kantor Koalisi Masyarakat Sipil Jammu dan Kashmir. NIA juga menggerebek kediamaan koordinator koalisi tersebut yaitu Khurram Parvez. Selain itu, NIA juga menggerebek kantor Asosiasi Orang Hilang. Asosiasi ini mencari keberadaan ribuan warga Kashmir yang diduga menjadi sasaran penghilangan paksa oleh pasukan India.
Kelompok hak asasi manusia global telah menyatakan keprihatinan atas penggerebekan ini. Dalam sebuah pernyataan pada Oktober lalu, Amnesty International mengatakan penggerebekan ini adalah "pengingat yang mengkhawatirkan bahwa pemerintah India bertekad untuk menekan semua suara yang tidak setuju di Jammu dan Kashmir".
Sebelumnya, tujuh pelapor PBB mengatakan, keputusan India untuk mencabut status otonomi Kashmir dan penerapan undang-undang kependudukan baru dapat membatasi tingkat partisipasi politik Muslim dan minoritas lainnya. Kepala Komite Parlemen Pakistan untuk Kashmir, Shehryar Khan Afridi meminta sekretaris jenderal PBB untuk menindaklanjuti laporan pelapor PBB dan "menjatuhkan sanksi kepada India atas terorisme demografisnya" di Jammu dan Kashmir. Afridi mengatakan kelompok-kelompok hak asasi manusia juga telah meminta India untuk "segera menghentikan penindasan terhadap suara Kashmir."