REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali membuka izin bagi investasi minuman keras atau miras. Dampak kebijakan itu dinilai kecil terhadap perekonomian nasional.
"Dampaknya kecil, tapi kerugian ekonomi jangka panjang justru besar. Pelonggaran aturan investasi di sektor minol ini dampak terhadap ekonomi masyarakat di daerah sebenarnya kecil, tapi efek negatif ke depan justru besar," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Senin (1/3).
Menurut dia, kebijakan itu membuat wajah indonesia di mata investor asing, khususnya dari negara Muslim, kurang bagus. Apalagi, kata dia, sebelumnya pemerintah menggaungkan soal investasi pada sektor halal.
"Banyak sektor yang bisa dikembangkan selain industri minol. Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja, sektor pertanian dan pengembangan agro industri harusnya yang dipacu. Salah kalau ke minuman beralkohol karena dampaknya jangka panjang justru blunder bagi kesehatan masyarakat, juga mengakibatkan gejolak sosial, apalagi kalau produk mirasnya ditawarkan ke pasar dalam negeri," tutur dia.
Bhima menilai, sebaiknya aturan tersebut direvisi lagi, dengan pertimbangan dampak negatif dalam jangka panjang. "Ini bukan sekadar pertimbangan moral, melainkan juga kerugian ekonomi dari sisi kesehatan," katanya menegaskan.
Baca juga : Kader PDIP Bangga Berfoto di Halte dan JPO Karya Anies
Ia menyebutkan, kontribusi cukai dari minuman beralkohol relatif kecil dan agak aneh kalau cukai yang didorong. Sebab, tujuan cukai minuman beralkohol untuk mengendalikan konsumsi barang negatif bagi kesehatan.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun berencana menggelar konferensi pers besok (2/3). Dalam konferensi itu, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia akan menjelaskan terkait pembukaan kembali izin bagi investasi miras.
"Besok BKPM akan melaksanakan konferensi pers terkait hal itu. Ini agar informasinya utuh," ujar Juru Bicara BKPM Tina Talisa saat dihubungi Republika.co.id hari ini.