Kamis 04 Mar 2021 16:11 WIB

YLBHI Sarankan Proses Hukum 6 Anggoya Laskar FPI Disetop

YLBHI memandang penetapan tersangka sangat aneh dan bertentangan dengan hukum acara.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
TiMuhammad Isnur (tengah)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
TiMuhammad Isnur (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyarankan proses hukum terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang meninggal dalam kasus KM50 tidak diteruskan. Itu perlu dilakukan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan tidak membuat masyarakat semakin tak percaya hukum.

"YLBHI menyarankan tidak meneruskan proses hukum ini, agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan juga tidak membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, dalam keterangan tertulis, Kamis (4/3).

Isnur mengatakan, YLBHI memandang penetapan tersangka tersebut sangat aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana. Menurut dia, jika dianggap sebagai sebuah standar penegakkan hukum, maka itu akan berbahaya.

"Pasal 77 KUHP menyebutkan 'kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia'. Jika mengikuti 'permainan' kepolisian dalam kasus enam orang FPI, maka seharusnya kepolisian juga meneruskan kasus Soeharto dan lain-lain," ungkap dia.

Selain itu, Isnur juga mengungkapkan, dalam ketentuan hukum acara pidana juga dijelaskan, tersangka memiliki serangkaian hak untuk membela diri dan membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, hak atas bantuan hukum dan lainnya. Maka, dalam kasus ini, dia mempertanyakan terkait hal tersebu.

"Bagaimana pula tersangka bisa melakukan hal-hal terkait haknya ini? Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang kasus enam orang anggota FPI, tetapi tentang bagaimana Indonesia sebagai negara hukum yang tegas disebutkan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi tegak dan berlaku," kata Isnur.

Sebelumnya, enam orang anggota FPI yang tewas dalam bentrokan dengan polisi di Tol Cikampek, Jawa Barat, menjadi tersangka kasus penyerangan. Bentrok antara polisi dan FPI terjadi pada 7 Desember 2020 sekitar pukul 00.50 WIB ketika keenam anggota FPI tersebut mengawal pemimpin mereka, Rizieq Shihab.

Direktur Tindak Pidana Umum Polri Brigadir Jenderal Andi Rian mengatakan, keenam orang tersebut menjadi tersangka karena diduga menyerang polisi. “Sudah ditetapkan tersangka, Pasal 170 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),” kata Andi Rian ketika dihubungi, Rabu malam, seperti dilansir Anadolu Agency.

Andi menuturkan, penetapan status tersangka ini akan dikaji lebih lanjut oleh jaksa penuntut umum karena keenamnya telah meninggal. Selain itu, Bareskrim Polri juga telah membuat laporan terkait dugaan unlawfull killing oleh tiga anggota Polda Metro Jaya yang kini berstatus sebagai terlapor.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada unlawfull killing dalam peristiwa tersebut. Komnas HAM telah menyusun laporan berjumlah 103 halaman ditambah lampiran bukti dan dokumen yang menunjang terkait peristiwa yang terjadi pada 7 Desember 2020 ini.

Mereka juga telah menyerahkan laporan tersebut kepada Presiden Joko Widodo sebagai rekomendasi kepada pemerintah dalam penanganan kasus ini. Komnas HAM juga meminta agar peristiwa ini dilanjutkan ke dalam peradilan pidana yang transparan dan akuntabel agar dapat disaksikan oleh masyarakat.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement