Jumat 05 Mar 2021 15:54 WIB

Berdusta Dilarang Agama, Kecuali dalam 3 Kondisi Berikut

Islam melarang berdusta kecuali dalam sejumlah kondisi

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Islam melarang berdusta kecuali dalam sejumlah kondisi. Anak berbohong/ilustrasi
Foto: brocku.ca
Islam melarang berdusta kecuali dalam sejumlah kondisi. Anak berbohong/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terdapat tiga hal yang tidak termasuk dusta yang diharamkan dalam Islam. Hal tersebut telah disampaikan Rasulullah SAW dalam sejumlah riwayat. 

 

Baca Juga

Salah satu riwayat adalah sebagaimana dijelaskan dalam laman Islamweb pada Kamis (4/3), Rasulullah bersabda: 

 

 لا يصلح الكذب إلا في ثلاث : الرجل يكذب في الحرب والحرب خدعة ، والرجل يكذب بين الرجلين ليصلح بينهما ، والرجل يكذب  للمرأة ليرضيها بذاك  

 

"Kebohongan diperbolehkan dalam tiga hal, laki-laki yang berbohong dalam peperangan, mendamaikan di antara yang bertikai dan laki-laki yang berbohong kepada istrinya untuk membuatnya ridha." 

 

Dijelaskan bahwa kebohongan hanya diperbolehkan dalam tiga hal. Di antaranya dalam hal peperangan, dalam hal pernikahan kepada pasangan, dan kedustaan di antara orang yang bertikai.

 

Pertama, berbohong dalam peperangan. Dalam perang membela agama, maka diperbolehkan mengeluarkan strategi untuk mengelabui musuh. Nabi mengatakan  الحرب خدعة, yaitu perang adalah tipu daya.

 

Kedua, berbohongnya suami terhadap istri atau istri terhadap suami. Ini dilakukan untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan.

 

Ketiga, dengan mengatakan kebohongan di antara orang yang bertikai. Namun pada akhirnya akan menghilangkan perpecahan dan menyatukan keduanya. Dalam kitabnya al-Adab al-Kubro, Ibnu Muflih mengatakan: 

 

ويحرم الكذب لغير إصلاح وحرب وزوجة “Dan diharamkan berdusta di luar tiga perkara tersebut yaitu  islah, perang, dan istri.”

 

Lantas apa ketentuannya berbohong yang diperbolehkan? Ibn al-Jauzy menjelaskan sebagai berikut:  

 

وضابطه أن كل مقصود محمود لا يمكن التوصل إليه إلا بالكذب فهو مباح إن كان ذلك المقصود مباحا ، وإن كان واجبا فهو واجب

 

“Ketentuannya adalah setiap tujuan yang mulia yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan berdusta, maka hal itu diboleh selama perkaranya tergolong boleh, jika wajib hukumnya juga bisa wajib.”

 

 

Sumber: islamweb 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement