REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Bengkulu memastikan tidak akan ada dualisme kepengurusan partai di tingkat daerah setelah pelaksanaan kongres luar biasa (KLB) di Sumatra Utara. DPD Partai Demokrat Provinsi Bengkulu menganggap KLB di Sumut inkonstitusional.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Provinsi Bengkulu, Chairil Guswendy, mengatakan, seluruh jajaran kepengurusan partai di Bengkulu mulai dari tingkat ranting, DPC, hingga DPD akan tetap loyal dan patuh terhadap ketua umum partai yang sah, yakni Agus Harimurti Yudhoyono. Chairil memastikan, seluruh jajaran kepengurusan partai akan solid mengadang jika ada pihak-pihak tertentu yang ingin membentuk kepengurusan tandingan berdasarkan hasil KLB.
"Prinsipnya kami menunggu instruksi dari DPP. Kita lihat dulu apakah mereka (kubu Moeldoko) akan diberikan SK oleh Kemenkumham atau tidak. Tetapi, yang jelas tidak ada dualisme di Bengkulu dan semua tegak lurus kepada Ketum AHY," ujarnya di Bengkulu, Sabtu (6/3).
Chairil juga mengutuk pelaksanaan KLB di Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara, pada Jumat (5/3) lalu. DPD Demokrat Bengkulu menganggap pelaksanaan KLB itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan demokrasi di Indonesia.
Chairil juga memastikan tidak ada pengurus teras tingkat DPC dan DPD Partai Demokrat Bengkulu yang hadir menjadi peserta dalam KLB tersebut. "Kalaupun ada yang mengeklaim suara Bengkulu dalam KLB itu, jelas itu bukan keputusan kami pengurus daerah. Bisa saja itu orang luar yang mengaku-ngaku pengurus Bengkulu," ucapnya.
Chairil juga meminta seluruh anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari Fraksi Partai Demokrat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, tetap bekerja seperti biasa dan tidak terpengaruh dengan isu dualisme kepemimpinan. Sementara itu, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bengkulu Suhartono menyebut Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko tidak tahu malu karena menerima jabatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat versi kongres luar biasa (KLB) di Sumatra Utara.
Menurutnya, sebagai pihak eksternal partai dan orang pemerintahan seharusnya Moeldoko menolak jabatan yang diperoleh dari proses politik yang inkonstitusional tersebut. "Yang jelas aneh, kok bisa terjadi dan tidak masuk akal. Apa yang dia (Moeldoko) lakukan itu memalukan. Padahal, menurut kami Pak Moeldoko itu bukan kalangan bawah lagi, tapi kok berbuat seperti itu," ujarnya.
Suhartono meminta pemerintah bersikap objektif dan jernih melihat persoalan ini tanpa terpengaruh intervensi dari pihak lain yang menginginkan Partai Demokrat terpecah dengan tidak mengeluarkan SK serta tidak mengakui hasil KLB Sumut.