Ratusan anak muda yang berunjuk rasa di distrik Sanchaung, Yangon, telah diizinkan untuk pulang setelah sempat 'dikepung' oleh pasukan keamanan Myanmar sepanjang hari Senin (08/03).
Hal itu terjadi setelah negara-negara barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Myanmar agar mengizinkan para pengunjuk rasa pergi.
"Banyak dari mereka yang terperangkap adalah perempuan yang melakukan aksi damai dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional,” ujar Stephane Dujarric, juru bicara Sekretrais Jenderal PBB dikutip dari AFP.
Ribuan orang pun turun ke jalan menentang diberlakukannya jam malam di jalan-jalan kota utama Myanmar untuk mendukung sekitar 200 anak muda yang terperangkap di distrik Sanchaung, yang menjadi lokasi utama mereka melancarkan protes setiap harinya terhadap kudeta militer.
Sekitar pukul 10 malam waktu setempat, pasukan keamanan mulai menembakkan senjata maupun melemparkan granat setrum dan mengumumkan akan memeriksa bangungan-bangunan untuk menyisir orang-orang yang berasal dari luar distrik dan akan menghukum siapa pun yang ketahuan menyembunyikan orang-orang tersebut.
Salah seorang pengunjuk rasa dalam sebuah unggahan di media sosial mengatakan bahwa akhirnya mereka dapat pulang pada pukul 5 pagi waktu setempat setelah pasukan keamanan lebih dulu meninggalkan lokasi dua jam sebelumnya.
Junta militer cabut izin media lokal
Selain itu, junta Myanmar mengumumkan mencabut izin lima media lokal. Mereka adalah Mizzima, DVB, Khit Thit Media, Myanmar Now, dan 7Day News.
"Perusahaan media ini tidak lagi diizinkan untuk menyiarkan atau menulis atau memberikan informasi dengan menggunakan platform media apa pun atau menggunakan teknologi media apa pun," demikian bunyi pengumuman tersebut.
Lima media ini dinilai telah melakukan liputan luas tentang aksi unjuk rasa di Myanmar, sering kali menayangkan siaran langsung secara online.
Dilaporkan kantor Myanmar Now digerebek oleh pihak berwenang pada hari Senin (08/03), tepat sebelum keputusan itu diumumkan.
Sementara DVB mengatakan tidak terkejut dengan pencabutan izin tersebut dan akan melanjutkan siarannya di TV satelit dan online.
"Kami mengkhawatirkan keselamatan reporter dan staf kami, tetapi di masa pemberontakan saat ini, seluruh negara telah menjadi jurnalis dan tidak ada cara bagi otoritas militer untuk menutup arus informasi," terang Direktur Eksekutif DVB Aye Chan Naing.
Sejak kudeta 1 Februari lalu, pemerintah Myanmar telah menahan puluhan jurnalis termasuk reporter Myanmar Now dan Thein Zaw dari AP. Keduanya telah didakwa di bawah hukum ketertiban umum dengan ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara.
Inggris serukan pembebasan Aung San Suu Kyi
Duta Besar Myanmar untuk Inggris, Kyaw Zwar Min, mengatakan pemerintah harus membebaskan pemimpin sipil yang ditahan, Aung San Suu Kyi, dan Presiden Win Myint. Seruannya lantas mendapat pujian dari Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab atas "keberaniannya" dalam menanggapi kudeta militer di Myanmar.
"Jawaban atas krisis saat ini hanya ada di meja perundingan," kata Zwar Min setelah pertemuan dengan Raab dan Menteri Inggris untuk Asia, Nigel Adams.
Inggris merupakan salah satu negara yang menyerukan pembebasan Suu Kyi dan menuntut pemulihan demokrasi di Myanmar
Puluhan orang tewas
Myanmar tengah berada di dalam kekacauan sejak kudeta bulan lalu yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dari kekuasaan, memicu protes massa terhadap junta militer.
Protes diadakan hampir setiap hari di seluruh negeri meskipun pasukan keamanan menggunakan kekuatan mematikan.
Menurut laporan PBB, lebih dari 50 orang telah tewas dan hampir 1.800 orang ditangkap.
Para jenderal militer Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda mendengarkan seruan untuk menahan diri meskipun tekanan internasional meningkat, termasuk sanksi yang ditargetkan oleh negara-negara Barat.
rap/pkp (AFP, AP, Reuters)