REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara Maqdir Ismail meminta jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berani jujur dalam perkara yang menjerat mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono. Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) dan menantunya itu bakal menghadapi sidang putusan, hari ini, Rabu (10/3) sore ini.
Keduanya bakal divonis atas kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA. Maqdir menyebut, tim penuntut umum KPK dalam beberapa kali persidangan sempat menyebut perbuatan yang dilakukan Nurhadi layak dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun penuntut umum mendakwa kliennya dengan UU Tipikor, bukan UU TPPU.
"Surat dakwaan, penuntut umum sama sekali tidak mendakwa dengan ancaman UU TPPU, akan tetapi hanya mendakwa berdasarkan UU Pemberantasan Korupsi sehingga sangat tidak relevan apabila penuntut umum dalam perkara ini berpendapat demikian," ujar Maqdir dalam keterangannya, Rabu (10/3).
Apalagi, menurut Maqdir, dalam persidangan yang telah berjalan sebelumnya tak pernah ada saksi yang menyebut Nurhadi mempunyai kontrol besar atas perusahaan dan keuangan yang dimiliki Rezky Herbiyono.
"Bahwa faktanya, Nurhadi sebagai mertua tidak memiliki kedekatan dengan Rezky Herbiyono, selain kedekatan sebagai keluarga, Nurhadi tidak pernah ikut campur dengan bisnis-bisnis Herbiyono lebih khusus proyek PLTMH antara Rezky Herbiyono dengan saksi Hiendra Soenjoto (terdakwa penyuap Nurhadi dan Rezky)," kata Maqdir.
Atas dasar minimnya kesaksian di persidangan, Maqdir menilai pernyataan jaksa yang menyebut perbuatan Nurhadi berpola pencucian uang hanya didasarkan kesimpulan semata.
"Penggunaan pola seolah-olah ada pencucian uang ini adalah satu kesengajaan untuk mem-framing Nurhadi dan Rezky Herbiyono telah melakukan kejahatan ganda. Bukan hanya menerima hadiah atau janji, tetapi juga melakukan upaya untuk mencuci uang," kata Maqdir.
Maqdir menyebut, perbuatan Rezky yang membeli kebun Kelapa Sawit atas nama dirinya dan istri, Rizqi Aulia Rahmi bukan berasal dari uang hasil pidana. Maqdir menyesali ketika jaksa menggiring opini pembelian Kebun Kelapa Sawit dihasilkan dari uang yang diterima dari Hiendra.
Padahal, menurut Maqdir, dalam persidangan dengan saksi Soepriyo Waskito Adi menjelaskan bahwa uang untuk membeli kebun tersebut berasal dari Herry HB Kairupan. Namun saya menurut Maqdir, jaksa KPK seolah mengesampingkan keterangan Soepriyo.
Sebelumnya, Nurhadi, dituntut 12 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono dituntut 11 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Dalam amar tuntutan, Jaksa meyakini Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono menerima gratifikasi senilai Rp 37.287.000.000 dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK). Selain itu, Nurhadi dan menantunya juga dinilai menerima suap sebesar Rp 45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto.
Uang suap tersebut diberikan agar memuluskan pengurusan perkara antara PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa menyewa depo kontainer.
Nurhadi dan Rezky dituntut melanggar Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.