Sabtu 13 Mar 2021 02:50 WIB

UU ITE Versus Kebebasan Berpendapat

Pelaksanaan Undang-Undang ITE beberapa kali dianggap cederai kebebasan berpendapat.

Red: Yudha Manggala P Putra
Seseorang menggunakan smartphone. Ilustrasi
Foto: Pixabay/Krzysztof Kamil
Seseorang menggunakan smartphone. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus bergulir antara pihak yang menginginkan revisi dan menolak revisi. Pada dasarnya kedua belah pihak sepakat Undang-Undang ITE masih diperlukan untuk memastikan ruang digital tetap bersih dan beretika. Namun tidak kebablasan dengan dalih kebebasan berpendapat.

Semangat awal Undang-Undang ITE memang untuk menjaga agar media sosial dan internet tidak seperti rimba belantara. Meskipun sebagian isinya sebelum dan saat disahkan juga sempat dikritik karena dinilai dapat mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Seiring perjalanan waktu, pelaksanaan Undang-Undang ITE beberapa kali dianggap telah mencederai kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat.

Atas dasar melanggar Undang-Undang ITE, seseorang dapat dipidana. Apalagi, kemudian terbit surat Kepala Polri tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.

Data dari SAFEnet menyebutkan pemidanaan terhadap jurnalis dan media menggunakan Undang-Undang ITE paling banyak terjadi pada 2018 dan 2019. Sejumlah pasal yang dianggap "karet" dan multitafsir menjadi "alat" bagi sebagian pihak untuk memidanakan jurnalis dan pegiat media sosial.

Pasal-pasal "karet" yang multitafsir tersebut dianggap sebagai kemunduran bagi demokrasi dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Menurut Pakar hukum Universitas Parahyangan Prof Asep Warlan Yusuf, sebuah norma hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Tanpa mengabaikan kepastian hukum serta memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Terutama pada tingkat penaatannya.

Norma hukum juga harus dikerangkakan dalam kondisi siap uji secara objektif, dan memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati, serta dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam proses pembuktian.

Dengan demikian, sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain, warga masyarakat tidak boleh khawatir untuk menjalankan apa yang diyakini sebagai kebenaran dan mengembangkan bakat kesenangannya serta merasa diperlakukan secara wajar, berperikemanusiaan, adil, dan beradab sekalipun saat melakukan kesalahan.

Terkait dengan pasal-pasal pada Undang-Undang ITE yang dianggap multitafsir, Asep mengatakan rumusan normanya memang diperlukan. Namun dalam pelaksanaannya berpeluang disalahgunakan dan dijalankan sewenang-wenang. Pasal-pasal "karet" tersebut menggunakan rumusan norma yang terbuka sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang tinggi.

Menurut Asep, norma hukum harus benar-benar dirumuskan dengan jelas dan nyata, tidak samar, dan tidak pula menimbulkan banyak penafsiran.

Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat memungkinkan seseorang untuk menyampaikan pendapatnya secara mudah di dunia digital. Tidak hanya itu, dunia digital juga dimanfaatkan mereka-mereka yang berkepentingan untuk membangun dan memanipulasi opini publik di media digital.

Sejak 2012 telah muncul propaganda komputasional yang digunakan oleh aktor-aktor politik di berbagai negara untuk memanipulasi opini masyarakat melalui jejaring media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube.

Propaganda komputasional juga telah memunculkan pasukan siber. Ia tim siber yang digunakan pemerintah, militer, atau partai politik di seluruh dunia untuk mengembangkan atau memanipulasi opini masyarakat melalui media sosial.

Tim siber, yang juga kerap disebut buzzer atau pendengung, bisa dimiliki oleh berbagai pihak baik pihak pemerintah, pihak oposisi, pihak tengah, maupun pihak di luar sistem. Buzzer itulah salah satu fenomena di media digital yang perlu diatur secara tegas dalam Undang-Undang ITE.

Perlu direvisi

Karena itu, Undang-Undang ITE perlu direvisi. Kebebasan berpendapat di media digital harus tetap dijamin, tetapi tetap perlu diatur agar tidak kebablasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement