REPUBLIKA.CO.ID, SANTIAGO -- Mantan presiden Bolivia Jeanine Anez mulai menjalani masa tahanan yang berlangsung empat bulan. Penyidik mengatakan, ia membantu kudeta untuk menggulingkan Evo Morales pada 2019.
Penangkapan presiden sementara yang berkuasa kurang dari satu tahun itu, memicu kritikan dari organisasi hak asasi manusia dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS). Mereka mengatakan, jalur peradilan dilanggar demi kepentingan politik.
"Peradilan menjadi instrumen penindasan partai berkuasa, sistem peradilan Bolivia tidak dalam posisi memberikan jaminan minimum untuk menggelar pengadilan yang adil, imparsial dan proses yang tepat," kata OAS dalam pernyataannya, Selasa (16/3).
Anez ditangkap setelah polisi menggerebek rumahnya Sabtu (13/3) pagi lalu di Kota Trinidad. Ia dipindahkan ke penjara perempuan di ibu kota La Paz. Jaksa pemerintah sosialis yang kembali berkuasa pada Oktober lalu mengatakan, Anez menggunakan sekutunya di pasukan keamanan untuk mendesak Morales mengundurkan diri.
Anez lalu menjadikan dirinya sendiri sebagai presiden sementara. Ia membantah semua dakwaan terhadapnya. Ia mengatakan, dakwaan-dakwaan itu persekusi politis dan bersikeras tindakannya sesuai konstitusi.
Pihak berwenang juga diperintahkan menangkap mantan menteri energi dan kehakimannya yang didakwa atas pasal terorisme, penghasutan, dan konspirasi untuk melancarkan kudeta. Polisi juga memiliki surat penangkapan untuk tokok-tokoh masyarakat, mantan pejabat militer dan polisi.
Pada Ahad (14/3) lalu, Menteri Kehakiman Ivan Lima mengatakan, ia ingin mendakwa Anez dengan hukuman 30 tahun penjara. Ia berencana mengajukan tuntutan lain seperti mengajukan pinjaman senilai 350 juta dolar AS ke International Monetary Fund (IMF).
OAS yang mengawasi pemilihan 2019 dan menemukan adanya kecurangan dalam pemilihan yang dimenangkan Morales, mendesak agar Anez dan menteri-menterinya dibebaskan. Mereka mendesak penyelidikan internasional yang imparsial.