Kamis 18 Mar 2021 18:03 WIB

Sertifikat Vaksinasi Jadi Syarat Perjalanan Masih Wacana

Wiku mengatakan sertifikat vaksinasi sebagai syarat perjalanan masih harus dikaji.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pengemudi ojek daring menunjukkan sertifikat setelah menjalani vaksinasi Covid-19.
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Pengemudi ojek daring menunjukkan sertifikat setelah menjalani vaksinasi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menegaskan, sertifikat vaksinasi belum bisa dijadikan sebagai dokumen syarat perjalanan. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, penggunaan sertifikat vaksinasi sebagai syarat perjalanan membutuhkan hasil kajian lengkap tentang efektivitas vaksin.

"Hal itu masih wacana. Masih harus dilakukan studi tentang efektivitas vaksin dalam menciptakan kekebalan individu kepada mereka yang telah divaksinasi," ujar Wiku dalam keterangan pers, Kamis (18/3).

Pemerintah, kata Wiku, tidak bisa sembarangan dalam menyusun regulasi terkait syarat perjalanan di tengah pandemi. Apabila studi mendalam tidak dilakukan, ia menambahkan, ada potensi pemegang sertifikat vaksin menularkan virus Covid-19 saat melakukan perjalanan.

"Apabila sertifikasi itu dikeluarkan tanpa adanya studi yang membuktikan bahwa kekebalan individu telah tercipta, pemegang sertifikat tersebut memiliki potensi tertular atau menularkan virus Covid selama melakukan perjalanan," kata Wiku.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah mewacanakan pemberian sertifikat kesehatan digital bagi masyarakat yang memperoleh vaksin Covid-19. Ia mengatakan, sertifikat digital tersebut bisa digunakan sebagai syarat bepergian tanpa harus melakukan uji usap.

Baca juga : Kekebalan Individu Setelah Vaksinasi Covid-19 Belum Teruji

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement