REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan memastikan tidak akan membeda-bedakan penerima vaksin Covid-19 produksi Inggris, Astrazeneca. Pernyataan Kemkes ini merespons rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar pemerintah memprioritaskan penggunaan vaksin yang halal semaksimal mungkin untuk umat Islam.
Kemkes sekaligus membantah bahwa Astrazeneca akan didistribusikan khusus untuk masyarakat yang beragama bukan Islam. Bila merujuk hasil kajian MUI, maka vaksin Covid-19 yang sudah jelas dinyatakan halal dan thayyib adalah produk Sinovac.
Sementara Astrazeneca hasil kajian menyebutkan bahwa hukumnya adalah haram. Namun, vaksin Astrazeneca tetap boleh dipergunakan dengan pertimbangan kedaruratan.
Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, sampai saat ini tidak ada pembagian khusus atau pemisahan kelompok penerima untuk vaksin Astrazeneca. Pembagian khusus yang dimaksud Nadia adalah peluang penggunaan vaksin Astrazeneca untuk daerah-daerah dengan mayoritas penduduk bukan Muslim.
"Nggak lah (dibedakan). Kan (sifatnya) darurat. Tidak ada pembagian khusus tapi diprioritaskan daerah yang sudah mengakselerasi dan sudah membutuhkan untuk perluasan cakupan segera," ujar Nadia kepada Republika.co.id, Ahad (21/3).
Sebelumnya dalam keterangan pers, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 Astrazeneca hukum pemakaiannya haram karena dalam tahap produksinya memanfaatkan enzim tripsin yang berasal dari babi.
Namun, MUI menyimpulkan bahwa vaksin Astrazeneca boleh untuk digunakan oleh umat Muslim dengan asas kedaruratan. MUI juga merumuskan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah terkait penggunaan Aztrazeneca, antara lain pemerintah wajib terus mengupayakan ketersediaan vaksin yang halal dan suci, serta pemerintah harus memprioritaskan penggunaan vaksin yang halal semaksimal mungkin untuk umat Muslim.