Sabtu 27 Mar 2021 03:16 WIB

Mirisnya Konflik di Ethiopia, Pria Dipaksa Perkosa Keluarga

Jumlah kasus pemerkosaan di Tigray Ethiopia kemungkinan besar jauh lebih tinggi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nur Aini
 Orang-orang Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia, tiba dengan bus di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Kamis, 26 November 2020. Perdana menteri Ethiopia mengatakan Kamis bahwa tentara telah diperintahkan untuk bergerak di Tigray yang diperangi ibu kota regional setelah ultimatum 72 jamnya berakhir agar para pemimpin Tigray menyerah, dan dia memperingatkan setengah juta penduduk kota untuk tetap di dalam rumah dan melucuti senjata.
Foto: AP/Nariman El-Mofty
Orang-orang Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia, tiba dengan bus di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur, Kamis, 26 November 2020. Perdana menteri Ethiopia mengatakan Kamis bahwa tentara telah diperintahkan untuk bergerak di Tigray yang diperangi ibu kota regional setelah ultimatum 72 jamnya berakhir agar para pemimpin Tigray menyerah, dan dia memperingatkan setengah juta penduduk kota untuk tetap di dalam rumah dan melucuti senjata.

REPUBLIKA.CO.ID, TIGRAY -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendapati lebih dari 500 kasus pemerkosaan dilaporkan ke lima klinik di wilayah Tigray, Ethiopia. Karena stigma dan kurangnya layanan kesehatan, jumlah kasus pemerkosaan sebenarnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi. 

"Perempuan mengatakan bahwa mereka telah diperkosa oleh orang bersenjata, mereka juga menceritakan kisah pemerkosaan berkelompok, pemerkosaan di depan anggota keluarga dan pria dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga mereka sendiri di bawah ancaman kekerasan," kata Wafaa Said selaku wakil koordinator bantuan PBB di Ethiopia dilansir dari Aljazirah pada Jumat (26/5).

Baca Juga

Said mengatakan setidaknya 516 kasus pemerkosaan telah dilaporkan oleh lima fasilitas medis di Mekelle, Adigrat, Wukro, Shire, dan Axum.

"Mengingat fakta bahwa sebagian besar fasilitas kesehatan tidak berfungsi dan juga stigma terkait pemerkosaan, diperkirakan angka sebenarnya jauh lebih tinggi," tambah Said.

Para pejabat tinggi PBB pada Senin pekan ini menyerukan penghentian serangan membabi buta dan menargetkan warga sipil di Tigray. Mereka menyerukan keprihatinan atas laporan pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual mengerikan lainnya. 

Pertempuran di Tigray pecah pada bulan November 2020 antara pasukan pemerintah dan bekas partai yang memerintah di kawasan itu, Front Pembebasan Rakyat Tigray. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed juga mengatakan pasukan dari negara tetangga Eritrea berada di wilayah itu. 

Redwan Hussein selaku juru bicara satuan tugas darurat pemerintah di Tigray, Billene Seyoum sebagai juru bicara perdana menteri, Mulu Nega selaku kepala pemerintahan sementara Tigray, Menteri Luar Negeri Eritrea Osman Saleh Mohammed dan Menteri Informasi Eritrea Yemane Gebremeskel tidak menanggapi panggilan dan pesan media guna meminta komentar.

Kekerasan di Tigray telah menewaskan ribuan orang dan memaksa ratusan ribu mengungsi dari rumah mereka di wilayah pegunungan yang berpenduduk sekitar lima juta itu.

"Sebagian besar pengungsi tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang mereka kenakan. Mereka umumnya trauma dan menceritakan kisah perjalanan sulit yang mereka tempuh untuk mencari keselamatan. Ada yang melaporkan berjalan kaki selama dua minggu dan ada yang sejauh 500 km," ungkap Said.

"Dari orang-orang yang bepergian dengan mereka, beberapa dilaporkan terbunuh - terutama anak-anak muda, orang-orang dilaporkan dipukuli, perempuan menjadi sasaran pemerkosaan, beberapa hamil dan melahirkan dalam perjalanan kehilangan bayinya," kata Said. 

Pekan ini, Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed untuk pertama kalinya mengakui bahwa kekejaman, seperti pemerkosaan, telah dilakukan. Ia mengatakan setiap tentara yang melakukan kejahatan akan dihukum. 

Lusinan saksi di Tigray mengatakan tentara Eritrea secara rutin membunuh warga sipil, memperkosa dan menyiksa perempuan, dan menjarah rumah tangga. Eritrea belum menanggapi pertanyaan tentang laporan kekejaman ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement