REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Embargo ekspor vaksin Covid-19 AstraZeneca yang dilakukan Pemerintah India berdampak pada turunnya jumlah ketersediaan vaksin nasional. Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, khawatir Indonesia mengalami kekosongan vaksin usai adanya embargo tersebut.
"Kalau vaksinnya saja kosong, bagaimana mewujudkan target satu juta dosis suntikan per hari yang ditargetkan Presiden? Dan, pastinya ini akan berdampak pada tidak tuntasnya vaksinasi dalam waktu 15 bulan sebagaimana target dari pemerintah," kata Netty dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Selasa (6/4).
Ia meminta pemerintah segera melakukan langkah taktis demi menjamin ketersediaan vaksin nasional. Jika pemerintah lambat, Netty menilai tujuan herd immunity sulit untuk dicapai.
"Misalnya jika pabrik India tidak memungkinkan, pemerintah harus melakukan negosiasi ke pabrik-pabrik AstraZeneca lainnya. Seperti pabrik yang ada di Thailand, misalnya," ujarnya.
Tidak hanya itu, Netty memandang potensi kekosongan vaksin juga akan merembet ke hal-hal lain, misalnya soal kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) yang akan dibuka kembali bulan Juli. Ia pun mempertanyakan vaksinasi guru yang sebelumnya ditargetkan selesai pada Juni.
Baca juga : EMA: Vaksin AstraZeneca Terkait Pembekuan Darah Langka
"Apakah guru-guru bisa dijamin sudah divaksin semua? Apalagi ketika stok vaksin masih cukup saja, vaksinasi terhadap tenaga pendidik masih berjalan lambat," ucapnya.
Netty juga mengomentari pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan bahwa vaksinasi Covid-19 bakal kembali meningkat pada Mei 2021 karena ada produksi vaksin secara masal dari Bio Farma. Sementara itu, PT Bio Farma memastikan sebanyak 30 juta dosis vaksin dalam bentuk bulk akan tiba pada April ini.
"Sampai saat ini berapa bulk Sinovac yang bisa diolah? Dan, seperti apa kapasitas produksi dari Bio Farma? Perlu dilakukan percepatan agar produksi vaksin Covid-19 dalam negeri bisa lebih banyak lagi. Jangan sampai, kita mendatangkan bulk Sinovac yang begitu banyak (140 juta dosis), tapi kemampaun produksi kita rendah, ini akan menjadi sia-sia," kata dia.
Selain itu, Netty mengungkapkan Pemerintah Indonesia harus mendorong lahirnya kesamaan sikap di tingkat global soal keadilan dalam mengakses vaksin. Jangan sampai vaksin dimonopoli oleh negara-negara maju yang memiliki teknologi yang memadai.
"Kejadian embargo ini juga harus menjadi kesadaran bagi pemerintah dalam mempercepat pengembangan vaksin nasional, seperti Merah Putih dan Nusantara. Jika kita mampu berdikari dalam produksi vaksin, kita tidak hanya bisa mencukupi kebutuhan vaksin dalam negeri, tapi juga bisa membantu negara-negara lainnya," tutur Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI tersebut.