REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasannya, pemimpin yang memerintah antara tahun 99 dan 102 Hsekitar 717 hingga 720 Masehiitu menerapkan kebijakan untuk kembali kepada syariat. Umar II, demikian gelarnya, memang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.
Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Biografi Umar bin Abdul Aziz: Khilafah Pembaru dari Bani Umayyah (2010) mengatakan, karakteristik kepemimpinan Umar adalah amanah dan warak, jauh dari kesan semena-mena. Selayaknya orang yang memahami ilmu-ilmu agama, ia memahami adanya tanggung jawab, baik di dunia maupun akhirat kelak. Bahkan, dirinya pun semakin takut akan pengadilan Hari Akhir dan perjumpaan dengan Tuhannya.
Sebuah kisah disampaikan Ibnu Abi Dzuaib. Suatu ketika, seorang lelaki membacakan Alquran surat al-Furqan ayat 13.
وَإِذَا أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا “Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”
Mendengar ayat tersebut dibacakan, Umar seketika menangis tersedu-sedu. Firman Allah SWT itu menceritakan keadaan orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat. Perkataan yang keluar dari lisan mereka menandakan penyesalan yang amat mendalam atas ketidaktaatannya selama di dunia. Hati nurani Umar sangat peka akan Alquran.
Pernah di sebuah majelis, ia membaca surat at-Takasur. Surah itu menyinggung perihal mereka yang gemar bermegah-megahan serta akibat yang akan diterimanya kelak.
Baru dua ayat dibacanya, Umar menangis sesenggukan. Sesudah agak tenang, dirinya berkata, Aku tidak melihat kuburan kecuali sebagai tempat diziarahi. Dan setiap yang menziarahinya pun kelak akan kembali, apakah ke surga atau neraka.