REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin nyata. China kini sudah tak ragu lagi melawan beragam intervensi atau pun sanksi yang dijatuhkan terhadap AS. Beijing tak segan-segan memberikan sanksi terhadap pejabat Paman Sam.
Keberanian China melawan AS bukan tanpa alasan. Secara ekonomi China telah mampu mandiri dan melepaskan ketergantungan dari negara-negara Barat. Secara teknologi, China pun perlahan mulai mencoba menandingi AS.
Di sektor pertahanan keamanan, China dengan tanpa ragu-ragu mengirim kapalnya ke Laut China Selatan, dan ada kemungkinan akan menganeksasi Taiwan yang merupakan sekutu AS. Di bidang kesehatan, vaksin-vaksin Covid-19 yang dibuat oleh China telah terdistribuskan cepat ke berbagai negara dari mulai Asia, Afrika hingga benua Amerika.
Ekonomi Senior Drajad Wibowo tak menampik kemampuan China yang bisa menyaingi Amerika Serikat. Bahkan bukan tidak mungkin dapat mengungguli AS ke depannnya.
Menurut Drajad, pengaruh China di kawasan Asia kini bahkan jauh lebih kuat. AS ketika di bawah Donald Trump saat itu, gagal untuk merangkul negara-negara di kawasan Asia. Inilah yang coba ingin diperbaiki oleh Joe Biden, meski hal itu tidak lah mudah.
Lantas bagaimana sikap Indonesia di tengah kekuatan ini? Drajad menilai Indonesia harus pintar dalam menjalin komunikasi dan tidak mengekor. Indonesia harus bisa mengambil untung dari kedua negara besar tersebut.
Ikuti perbicangan Newstory Republika bersama ekonom senior Indef Dradjad Wibowo dan redaktur Republika.co.id Teguh Firmansyah, tentang posisi Indonesia dalam pertarungan China vs AS. Klick video di bawah ini: