REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, jumlah kasus positif harian di Indonesia bergantung kepada jumlah orang yang dites Covid-19 setiap harinya. Selama rata-rata kasus positif masih 10 persen atau di atasnya, berarti kasus Covid-19 di Indonesia masih sangat banyak terdapat di masyarakat.
"Di Indonesia itu turun bukan karena turun, kalau positivity rate-nya tetap 10 persen atau ke atas karena tesnya turun, maka kalau lihat kasusnya 4.000-an itu turun ya karena jumlah tesnya 34 ribu. Jadi, positivity rate-nya tetap di atas 10 persen. Kalau di atasnya, ya kita lihat jumlah tesnya yang naik," kata Tri saat dihubungi Republika.co.id, Senin (18/4).
Ia melihat, kondisi Covid-19 di Indonesia yang ditangkap oleh Kementerian Kesehatan sejak 2020 hanya kepada yang bergejala. Menurutnya, masih banyak di sekitar masyarakat orang-orang tanpa gejala yang sebenarnya terpapar Covid-19. Sayangnya, mereka tidak dites karena tahapan 3T (tracing, testing, treatment) di Indonesia yang belum maksimal.
"Tesnya kan hanya untuk yang bergejala. Tanpa gejala dicuekin. Padahal yang tanpa gejala ini bisa menularkan ke orang lain," kata dia lagi.
Tri menegaskan, pemerintah harus meningkatkan jumlah orang yang dites setiap harinya. Tes yang dilakukan tidak perlu semuanya melalui PCR namun bisa menggunakan rapid test antigen yang tentunya sudah direkomendasi oleh WHO.
Ia mencontohkan, saat ini negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan juga mendorong tahapan testing mereka dengan rapid test yang direkomendasi WHO. "Ya mau nggak mau pemerintah harus menyiapkan uang. Jadi saya pikir, harusnya tesnya nggak PCR, bisa diturunkan dengan rapid test tapi yang direkomendasi WHO," kata dia menegaskan.
Lebih lanjut, Tri khawatir jika jumlah tes tidak ditingkatkan akan semakin banyak orang tanpa gejala berkeliaran di sekitar masyarakat yang sehat. Hal ini tentunya akan membahayakan bagi masyarakat yang rentan seperti lansia atau orang dengan komorbid.