REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dikabarkan sepakat merevisi pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejumlah pihak menilai Pasal 27 ayat 1 merupakan pasal karet. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menyambut baik sikap pemerintah tersebut.
"Kalau direvisi, ya, it's okay, baik saya sepakat direvisi, mungkin nanti tidak cuma itu ketika kalau memang memungkinkan ada yang lain silakan saja sekalian, biar dibahas sekalian. Pada prinsipnya setuju saja direvisi," kata Abdul Kharis kepada Republika, Selasa (20/4).
Ia tidak mau mendesak-desak pemerintah agar segera mengirimkan draf revisi UU ITE ke DPR. Prinsipnya, DPR siap membahas revisi UU ITE jika pemerintah sudah mengirimkan ke DPR.
"Karena itu (usulan inisiatif) pemerintah kita tunggu aja. Saya gak mau ada pada posisi mengharuskan harus segera dan seterusnya, karena posisi DPR dalam hal ini membahas ketika ada usulan," kata dia.
Sebelumnya, Kabid Materi Hukum Publik Kemenkopolhukam Dado Achmad Ekroni mengatakan Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sepakat agar pasal 27 ayat 1 UU ITE perlu direvisi. Kesepakatan tersebut dilakukan usai tim kajian UU ITE mendengarkan keterangan dari 55 narasumber yang meliputi berbagai unsur, mulai dari pihak pelapor, terlapor, pers, DPR, praktisi, hingga akademisi.
Dado menjelaskan rumusan delik di setiap ketentuan pidana harus memenuhi empat prinsip, yaitu lex praevia, lex scripta, lex certa, maupun lex stricta. Sementara di pasal 27 sampai pasal 29 UU ITE dianggap tidak memenuhi salah satu unsur dari azas legalitas yakni lex certa atau ketidakjelasan rumusan pasal.
"Itu yang yang saat ini sedang kita fokuskan bagaimana caranya kita merevisi dengan mendengarkan dengan narasumber yang sudah kita kita ambil sebanyak 55 orang tersebut," ujarnya.