REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pendidikan Pancasila sejak era reformasi 1998 tidak lagi jadi diskursus publik. Bahkan, pada UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pembahasan kurikulum tidak ada kewajiban pemberian pendidikan Pancasila.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pendidikan nasional kini hadapi tantangan serius PP 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan ini mendapat reaksi masyarakat karena hilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Ia menilai, mispersepsi seperti ini harus segera diluruskan pemerintah. HB X menyarankan, agar tidak terjadi lagi setiap ada peraturan pemerintah yang akan dikeluarkan perlu dilakukan pencermatan dan tingkat partisipasi publik dulu.
"Selain merevisi PP tersebut, revisi UU No 20 Tahun 2003 sebagai payung rujukan PP yang menjadi turunannya. Apalagi, UU Sisdiknas hanya memuat nomenklatur pendidikan kewarganegaraan bukan pendidikan Pancasila," kata HB X dalam Kongres V Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Jumat (7/5).
Sejarawan, Dr Anhar Gonggong menuturkan, Pancasila sejak masa kemerdekaan selalu jadi permainan oleh pemain-pemain politik. Pancasila, lebih banyak diperbicarakan tanpa diamalkan, bahkan usai reformasi orang-orang seakan malu bicara Pancasila.
Menurut Anhar, itu karena sepanjang diberlakukan sebagai dasar negara, selalu saja Pancasila dijadikan sekadar alat politik untuk kepentingan kekuasaan bukan untuk rakyat. Karenanya, ia merasa, perlu ada konsensu dalam sistem pendidikan nasional.
"Yang menetapkan Pancasila sebagai pegangan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu tantangan kita sampai sekarang," ujar Anhar.