REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Majelis Tinggi Parlemen Jerman menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial pada Jumat (7/5) yang melarang pegawai publik kenakan simbol agama atau ideologi saat bekerja. Menanggapi keputusan ini, asosiasi Muslim segera mengkritik. Mereka mengatakan RUU itu ditetapkan dengan tergesa-gesa oleh pemerintah tanpa konsultasi sebelumnya dengan komunitas agama di Jerman.
“Perubahan legislatif ini memberi otoritas negara sebuah instrumen yang dapat mereka gunakan untuk melarang pegawai negeri mengenakan jilbab. Selain itu, ini akan merusak kebebasan beragama,” kata Dewan Koordinasi Muslim Jerman (KRM) dalam sebuah pernyataan.
Dalam praktiknya, tentu ini akan memengaruhi wanita Muslim yang mengenakan jilbab terlepas dari kelayakan atau kualifikasi mereka. RUU baru tentang pakaian dan penampilan memungkinkan otoritas negara untuk melarang atau membatasi penggunaan tato, simbol, perhiasan, atau pakaian yang terkait dengan agama saat pegawai negeri sedang bekerja atau bertugas.
Sayangnya, aturan tersebut masih belum jelas apakah memang untuk menegakkan larangan jilbab di tempat umum bagi wanita Muslim. Ketua Dewan Islam yang berbasis di Berlin, Burhan Kesici mengatakan RUU baru terlalu samar dan penerapannya bisa sewenang-wenang. Jangka panjangnya, lanjut dia bisa melanggar hak-hak dasar wanita Muslim yang bekerja di sektor publik.
Komisaris Senat Berlin untuk Integrasi dan Migrasi, Katarina Niewiedzial juga mengkritik RUU itu. Dia menekankan itu tidak adil dan menargetkan wanita Muslim.
“RUU ini memberikan dasar untuk larangan berjilbab secara luas,” kata Niewiedzial dalam sebuah pernyataan.
Niewiedzial menggarisbawahi di bawah langkah baru tersebut, wanita Muslim tidak akan dapat menjalankan profesinya secara bebas atau bahkan mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor publik.
Dilansir Anadolu Agency, Sabtu (8/5), Kementerian Dalam Negeri Jerman telah mengklaim RUU tersebut tidak akan memperkenalkan larangan umum bagi pegawai publik untuk mengenakan simbol atau pakaian agama di tempat kerja. Namun, itu akan membawa pembatasan dalam kasus-kasus luar biasa.
“Undang-undang yang mengatur penampilan pegawai negeri pada dasarnya menerapkan kewajiban konstitusional untuk menjaga netralitas ideologi dan agama negara,” kata Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Alina Vick pada konferensi pers di Berlin.
Ini berarti para pegawai negeri sipil tentunya bisa tetap memakai lambang dan busana agama. Vick menambahkan pemakaian pakaian dan simbol keagamaan hanya bisa dilarang dalam beberapa kasus luar biasa, seperti ketika negara menjalankan “otoritas publik” berhadapan dengan individu dalam pengertian hierarki klasik.