REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhlak menjadi hal yang pokok dalam ajaran Islam. Terutama bagaimana merawat, menumbuhkan dan mengembangkan akhlak yang mulia. Guru Besar Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof KH Asep Usman Ismail menjelaskan ada beberapa pengertian tentang akhlak. Akhlak diartikan sebagai al 'adah yaitu kebiasaan atau habbit.
Ia menjelaskan jika kebiasaan seseorang baik maka akhlaknya pun akan baik, sebaliknya jika kebiasaan seseorang buruk maka akhlaknya pun akan buruk. Karena itu menurutnya memperbaiki akhlak adalah memperbaiki kebiasaan.
"Oleh sebab itu kebiasaan ini harus dievaluasi, apakah kita sudah membiasakan yang baik atau kita masih terjebak dalam kebiasaan buruk, atau kebiasaan buruk tapi kita anggap baik, ini lebih parah," kata Prof Asep dalam kajian virtual yang disiarkan Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran (PSQ) pada Senin (10/5).
Manusia dilahirkan ke alam dunia dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat An Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur"
Prof Asep menjelaskan dari ayat tersebut diketahui bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, perbuatan, pengalaman dan lainnya ketika lahir. Atau disebut dengan fitrah. Lalu Allah memberikan kepada manusia pendengaran, penglihatan serta memberikan memori untuk menyimpannya di dalam hati nurani yang disebut afidah atau fuad. Sehingga menurutnya akhlak itu terbentuk berdasarkan apa yang didengar, dilihat dan apa yang tersimpan dalam memori.
"Tentu saja yang didengar adalah suara, yang dilihat adalah gambar dan gerak, lalu setelah tahapannya mendengar, melihat, menyimpan, menirukan, mengulang-ulang, lama-lama jadi kebiasaan. Saat kebiasaan itu lah terjadi akhlak," jelasnya.
Lebih lanjut Prof Asep menjelaskan akhlak juga disebut dengan tobi'ah yang berasal dari kata toba'a yang artinya mencetak. Maksudnya yaitu segala apa yang didengar, dilihat, yang disimpan dalam hati, yang ditirukan, dan yang diulang-ulang lambat laun akan membentuk atau tercetak dalam kalbu seseorang. Maka menurutnya akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa.
Akhlak disebut juga As Sajiyah yang berarti ungkapan, ekspresi atau pernyataan. Maksudnya akhlak adalah apa yang tersimpan dalam hati atau jiwa lalu muncul kepermukaan. Menurut Prof Asep akhlak dapat keluar melalui gestur atau bahasa tubuh. Akhlak juga dapat keluar atau tercerminkan dari kata-kata, maka menurutnya seseorang yang ucapannya santun dan lembut mencerminkan mulia akhlaknya. Sebaliknya seseorang yang ucapannya kasar, tidak memiliki manfaat, bahkan cenderung menimbulkan kemudharatan maka mencerminkan akhlak yang rusak. Selain itu akhlak juga tercermin dalam sikap dan terlihat dari perilaku.
Akhlak disebut juga Al Muruah yang berarti harga diri, martabat, dan kehormatan. Prof Asep menjelaskan seseorang yang kualitas akhlaknya rendah maka harga dirinya pun ditempatkan pada perkara yang tidak memiliki makna. Orang tersebut akan mudah tersinggung, marah hanya karena persoalan-persoalan sepele dalam perkara dunia. Sebaliknya orang yang memiliki kualitas akhlak tinggi akan menempatkan harga dirinya pada yang lebih bermakna.
"Rasulullah ketika harga dirinya direndahkan tidak marah, karena muruahnya tidak pada itu. Tapi ketika agama dihina, Alquran dilecehkan, Allah dihina, maka Rasulullah marah. Mengapa? Karena harga dirinya berada pada sesuatu yang bermakna," katanya.
Lebih lanjut Prof Asep mengatakan akhlak berarti juga Ad Din yaitu keteraturan, peradaban, dan agama. Keteraturan menggambarkan pribadi yang baik, maju, modern dan berperadaban. Itu sebabnya Islam hadir untuk mengembangkan manusia menjadi pribadi yang berakhlak.
Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sebab itu menurut Prof Asep esensi dalam ajaran Islam bukan terletak pada ibadah atau ilmu melainkan esensi ajaran Islam terletak pada pada sikap, perbuatan, karakter, kepribadian atau disebut akhlak yang mulia.
"Mari kita evakuasi diri kita apakah sudah punya akhlak yang mulia. Mari kita kuatkan wujudkan, transformasikan kepada anak-anak kita supaya terbentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia. Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk pembinaan akhlak," katanya.