REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Penjamin Pogrund mengkhawatirkan istilah 'Apartheid' mencuat. Jurnalis yang meliput praktik Apartheid di Afrika Selatan itu kini pindah ke Isreal. Sekitar dua dekade lalu, Pogrund yang kini berusia 87 tahun bersemangat dalam membela Israel dari tudingan apartheid.
Pogrund berbalik arah setelah melihat situasi terkini di negara Zionis itu. Dia kembali berpikir, Israel kemungkinan menjadi negara apartheid. Rencana aneksasi sepertiga wilayah Tepi Barat jika diwujudkan, benar-benar menjadikan Israel menerapkan praktik apartheid Afrika Selatan versi modern.
"Akan ada penguasa Israel di daerah yang diduduki dan orang-orang yang akan berkuasa tidak memiliki hak-hak dasar," kata Pogrund. "Itu akan menjadi era apartheid. Kami pantas me nerima tuduhan itu, dan itu adalah sesuatu yang membuat saya khawatir karena kita menghadapi bahaya besar," katanya melanjutkan.
Reporter dan editor pada Rand Daily Mail di Johannesburg, Afrika Selatan itu menjadi saksi keganasan rezim Apartheid, termasuk pembantaian Sharpeville, ketika polisi Afrika Selatan menembaki demonstran kulit hitam dan menewaskan 69 orang. Pogrund juga mengungkap kondisi penjara dan penyiksaan bagi tahanan kulit hitam. Pogrund meninggalkan Afrika Selatan setelah korannya ditutup pada 1985 di bawah tekanan rezim Apartheid. Dia sempat tinggal di London dan Amerika Serikat, sebelum pindah ke Israel pada 1997.
Dia vokal menyuarakan perlakuan Israel terhadap Palestina sebagai "tirani", "penindasan", dan "kebrutalan". Meski tak pernah menggunakan istilah Apartheid untuk menggambarkan kekejaman Israel terhadap Palestina. "Itu adalah kata yang mematikan.''