REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta orang berusia muda dan dalam kondisi sehat tidak diberi vaksin Covid-19 produksi AstraZeneca. Hal tersebut berkaca dari pengalaman beberapa negara dan fakta empiris terkait relatif banyaknya kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) usai divaksin produk asal Inggris tersebut.
Ketua Satgas Covid-19 IDI, Zubairi Djoerban, mengatakan, Inggris sudah memakai lebih dari 20 juta dosis vaksin AstraZeneca untuk penduduknya. Fenomena KIPI dari vaksin ini memang relatif banyak, yakni 262 kasus dan yang meninggal dunia sebanyak 69 jiwa. Kendati demikian, efek simpang vaksin hanya satu per 100 ribu kejadian.
“Kemudian, apakah vaksin AstraZeneca di Inggris disetop? Tidak. Namun, di sana ditekankan yang disarankan tidak memakai vaksin AstraZeneca adalah orang muda yang berusia kurang dari 30 tahun, apalagi kalau sehat,” kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (19/5).
Pemerintah Indonesia diketahui telah menghentikan sementara distribusi dan penggunaan vaksin AstraZeneca batch (kumpulan produksi) CTMAV547. Langkah ini dilakukan menyusul adanya dua orang meninggal setelah menerima suntikan vaksin AstraZeneca. Peristiwa ini sedang diinvestigasi untuk memastikan dugaan keterkaitan antara vaksinasi dan kematian.
Zubairi mengatakan, semua vaksin yang telah dibeli pemerintah pasti baik karena telah melewati prosedur ketat, termasuk dalam aspek klinis. Dia setuju jika pemerintah hanya menghentikan distribusi dan penggunaan vaksin AstraZeneca batch CTMAV547 untuk diuji toksisitas dan sterilitasnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito menyatakan telah melaksanakan pengkajian bersama Komnas Penilai Obat, Komnas KIPI, dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) terkait kejadian ini. Pertemuan tersebut menyimpulkan, kejadian pembekuan darah (tromboemboli) telah dibahas pada forum pertemuan khusus di WHO maupun badan otoritas regulatori obat di Eropa-European Medicines Agency (EMA), yang menunjukkan tromboemboli merupakan kejadian medis yang sering dijumpai dan merupakan penyakit kardiovaskuler nomor tiga terbanyak berdasarkan data global. Namun, tidak ditemukan bukti peningkatan kasus ini setelah penggunaan vaksin AstraZeneca.
Penny mengatakan, vaksinasi Covid-19 tidak akan menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan hal lain. Kesakitan dan kematian karena penyebab lainnya, kata dia, akan terus terjadi walaupun telah divaksinasi. Namun, kejadian tersebut tidak berhubungan dengan vaksin.
Dia melanjutkan, beberapa negara Eropa yang semula menangguhkan vaksinasi AstraZeneca telah memutuskan untuk melanjutkan kembali program vaksinasi dengan vaksin tersebut, setelah mendapatkan penjelasan EMA. BPOM menilai, risiko kematian akibat Covid-19 jauh lebih tinggi sehingga masyarakat tetap harus mendapatkan vaksinasi Covid-19 sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
“Manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar dibandingkan risiko yang ditimbulkan sehingga vaksin Covid-19 AstraZeneca dapat mulai digunakan dan ini masih berlaku,” kata Penny.
Kemenkes mengingatkan masyarakat untuk tidak pilih-pilih ingin mendapatkan vaksin Covid-19 merek tertentu karena semua merek vaksin aman. “Organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) mengatakan jangan memilih vaksin Covid-19 karena semua sama baiknya,” kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
Artinya, dia melanjutkan, vaksin Covid-19 yang sudah lolos uji klinis tahap ketiga dan WHO juga sudah mendaftarkannya sebagai vaksin yang bisa digunakan (EUL), maka artinya sama kualitas keamanan dan manfaatnya. Dengan demikian, Kemenkes tidak membedakan menggunakan vaksin merek tertentu.
Nadia menambahkan, kebutuhan memberikan vaksinasi untuk 181 juta orang pasti tidak mungkin bisa dipenuhi satu produsen vaksin. Ditambah persaingan dari negara-negara lain yang juga berebut mendapatkan jatah dosis vaksin untuk rakyatnya masing-masing.