Selasa 25 May 2021 19:43 WIB

Soal AstraZeneca, Satgas Pandang Pembekuan Darah Kasus Umum

Satgas minta petugas kesehatan melakukan penapisan lebih ketat sebelum vaksin.

Rep: Sapto Andika Candra/Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Tenaga kesehatan menyuntikan vaksin Covid-19 Astrazeneca.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tenaga kesehatan menyuntikan vaksin Covid-19 Astrazeneca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah meyakini temuan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) berupa pembekuan darah langka pada orang yang usai menjalani vaksinasi Covid-19, tidak sepenuhnya berhubungan dengan vaksinasi itu sendiri. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, vaksin Covid-19 sendiri tidak menurunkan angka kematian atau angka kesakitan akibat penyakit yang sudah diderita penerima vaksin, selain Covid-19.

"Selain itu diketahui bahwa tromboemboli yaitu penyakit pembekuan darah di mana bekuan darah yang terbentuk di pembuluh darah terlepas dan terbawa aliran darah higga menyumbang pembuluh darah lain seringkali terjadi," kata Wiku dalam keterangan pers, Selasa (25/5).

Baca Juga

Tromboemboli vena, imbuh Wiku, juga menjadi penyakit kardiovaskular ketiga paling sering terjadi di dunia. Analisis ini memunculkan kesimpulan bahwa bukan tidak mungkin penyakit tersebut muncul bersamaan dengan momen vaksinasi, namun tidak ada kaitannya dengan vaksinasi Covid-19.

"Maka dari proses screening sebelum vaksin sangat penting untuk memastikan penerima vaksin sepenuhnya sehat. Satgas mengimbau petugas kesehatan melakukan screening secara teliti, sebelum dan menyeluruh, sesuai dengan kaidah yang ditetapkan," ujar Wiku.

Penerima vaksinasi juga diminta menjawab seluruh pertanyaan screening dengan jujur agar layak atau tidaknya menerima suntikan vaksin bisa diputuskan dengan tepat. Wiku pun menyarankan agar calon penerima vaksinasi bisa memeriksakan dirinya di fasilitas kesehatan untuk memastikan kondisi tubuhnya prima.

Sebelumnya, Komnas KIPI mencatat ada 27 kasus kematian yang diduga ada kaitannya dengan vaksinasi Sinovac. Namun hasil investigasi menyimpulkan sebaliknya. Seluruh 27 kematian tersebut disebut tidak ada kaitan dengan vaksinasi.

Dari kasus tersebut, 10 kasus akibat terinfeksi Covid-19, 14 orang meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 1 orang meninggal dunia karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak, 2 orang meninggal karena diabetes melitus dan hipertensi yang tidak tekontrol.

"Berbagai kejadian ikutan pasca imunisasi yang ditemukan di lapangan dapat menjadi bahan evaluasi baik untuk peningkatan kualitas pelayanan maupun pengingat bagi masyarakat untuk benar-benar perhatikan kondisi tubuhnya sebelum menerima vaksin," kata Wiku.

Komisi Nasional (Komnas) KIPI tetap merekomendasikan vaksin Covid-19 AstraZeneca aman dan bisa digunakan di wilayah Indonesia. Pemberian rekomendasi berdasarkan perhitungan proporsi laporan KIPI yang masih lebih rendah dibanding keberhasilan uji klinik vaksin ini tahap 1, 2, hingga 3.

"Proporsi laporan KIPI yang dilaporkan di Indonesia tidak lebih tinggi dari hasil uji klinis fase 1, fase 2, fase 3 Vaksin AstraZeneca. Jadi, kami masih merekomendasikan bahwa vaksin ini aman dan vaksin ini digunakan sampai hari ini," kata Ketua Komisi Nasional KIPI Hindra Irawan Satari saat mengisi konferensi virtual FMB9 bertema AstraZeneca Aman, Vaksin Terus Jalan, Selasa (25/5).

Ia menambahkan, keputusan ini diambil setelah organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) merekomendasikan vaksin dapat dipakai kalau efikasinya di atas 50 persen. Hasilnya, dia melanjutkan, AstraZeneca sudah mencapai persentase di atas 50 persen.

Ia mengaku pihaknya melaksanakan program sesuai panduan WHO. WHO bukan dimiliki hanya satu negara, satu dokter, atau satu bangsa melainkan milik bersama yang terdiri dari kumpulan para ahli dari berbagai negara di dunia dan mencapai konsensus mengeluarkan rekomendasi.  

Akhirnya, Komnas KIPI menyimpulkan vaksin AstraZeneca terbukti memberikan efikasi atau daya lindung dan efektivitas saat menggunakan vaksinnya. Tak hanya melihat rekomendasi WHO, pihaknya juga melihat uji klinik vaksin ini di tempat lain seperti Bandung, Jawa Barat, yang dijadikan multicenter laporan dunia seperti Brasil.

Terkait laporan KIPI yang diduga terkait vaksin ini, pihaknya memiliki sikap dan kebijakan. Sebagai organisasi profesi independen yang beranggotakan berbagai disiplin ilmu seperti spesialis anak, bagian penyakit dalam, spesialis paru, spesialis kulit, kedokteran forensik, pihaknya mengakui menerima laporan-laporan data KIPI yang masuk. Kemudian pihaknya membandingkan data-data uji klinik vaksin tersebut, kemudian melihat data-data dari negara yang melakukan vaksinasi dan yang telah melaporkannya dalam jurnal yang terpandang.

"Kemudian kami mengambil kesimpulan bahwa KIPI adalah suatu reaksi alamiah," katanya. Sebab, tindakan medik pasti mempunyai risiko medik. Tak hanya vaksinasi, ia menyebutkan tindakan operasi, ketika akan dianastesi hingga akan melahirkan pasti memiliki risiko medis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement