Malaysia akan membawa sengketa perdagangan dengan Uni Eropa (UE) dan dua negara anggotanya karena telah membatasi biofuel berbasis minyak sawit, demikian menurut daftar di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjelang pertemuan pada hari Jumat (28/05).
Kebijakan UE dalam menerapkan arahan energi terbarukan telah dipertanyakan oleh dua produsen minyak sawit terbesar di dunia, yakni Malaysia dan Indonesia dan dibawa ke badan pengawas perdagangan global ini dalam dua kasus paralel yang terpisah.
Kedua negara tersebut mengatakan bahwa langkah-langkah yang diambil UE telah memberikan "keuntungan yang tidak adil" kepada produsen biodiesel lokal yang menggunakan bahan dasar minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Permintaan Malaysia agar WTO segera membentuk panel untuk mengadili kasus tersebut akan diresmikan pada pertemuan Jumat malam.
Brussel mengatakan bahwa budidaya kelapa sawit menghasilkan deforestasi berlebihan dan seharusnya tidak diperhitungkan dalam mencapai target energi terbarukan. Ini berarti bahan bakar solar berbasis minyak sawit tidak akan dianggap sebagai bahan bakar ramah lingkungan dan penggunaannya dalam transportasi akan dihapus secara bertahap pada tahun 2030. Malaysia mengekspor 1,94 juta ton minyak sawit ke UE pada tahun 2020.
Investigasi tuduhan kerja paksa
Sementara itu, Kanada saat ini tengah menyelidiki adanya tuduhan kerja paksa di industri manufaktur minyak sawit dan sarung tangan di Malaysia, demikian ungkap pemerintah Kanada pada hari Jumat.
Perusahaan-perusahaan Malaysia, yang mencakup beberapa produsen minyak sawit dan sarung tangan karet terbesar di dunia, telah menghadapi pengawasan yang kian ketat dalam beberapa tahun terakhir karena laporan pelanggaran tenaga kerja.
Badan Ketenagakerjaan dan Pembangunan Sosial Kanada lewat email mengatakan kepada Reuters bahwa pihaknya "secara aktif meneliti sejumlah tuduhan kerja paksa di berbagai negara dan sektor, termasuk industri minyak kelapa sawit dan manufaktur sarung tangan di Malaysia." Namun badan tersebut menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut atau nama perusahaan tertentu yang sedang diselidiki.
Kementerian sumber daya manusia Malaysia belum menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Pada tahun lalu, Amerika Serikat (AS) telah melarang impor dari tiga perusahaan Malaysia karena dicurigai melakukan kerja paksa. Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS mengatakan mereka menemukan indikator kerja paksa seperti jam kerja yang berlebihan, kondisi hidup dan kerja yang kejam, belenggu utang, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual, dan penyimpanan dokumen identitas di perusahaan-perusahaan ini.
Perusahaan yang terkena sanksi termasuk Top Glove, pembuat sarung tangan lateks terbesar di dunia, dan dua produsen minyak sawit, Sime Darby Plantation dan FGV Holdings.
Pada bulan April, Top Glove mengatakan telah menyelesaikan semua indikator kerja paksa yang ditemukan di pabriknya. Sementara Sime Darby mengatakan pihaknya berkomitmen untuk memerangi kerja paksa dan memiliki kebijakan yang kuat untuk melindungi hak-hak pekerja.
FGV mengatakan telah mengambil langkah-langkah nyata dalam beberapa tahun terakhir untuk menunjukkan komitmen untuk menghormati hak asasi manusia dan menegakkan standar perburuhan.
ae/hp (Reuters)