Ahad 30 May 2021 06:28 WIB

Siapa Benar-Benar Bisa Hentikan Israel di Palestina?

DI Timur Tengah, AS memiliki kepentingan dengan memelihara Israel

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Serangan Israel ke Gaza Palestina
Foto: Anadolu Agency
Serangan Israel ke Gaza Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Dr Ali Aslan, Dosen di Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Ibn Haldun dan peneliti di Direktorat Kemasyarakatan dan Kebudayaan SETA Foundation

ISTANBUL -- Serangan Israel yang tidak proporsional terhadap Palestina akhirnya berakhir dengan gencatan senjata antara kedua belah pihak.

Berdasarkan pengalaman masa lalu, sulit untuk memprediksi apakah gencatan senjata akan bertahan atau apakah serangan Israel akan berlanjut.

Kami belum menyaksikan perkembangan baru dan serius, seperti munculnya kekuatan yang mampu menyeimbangkan Israel, yang akan mengakhiri kebijakan agresif dan ekspansionis Israel. Untuk saat ini, masyarakat Palestina dan dunia internasional tampaknya mengandalkan keterlibatan Amerika Serikat.

Namun, setelah krisis terbaru, satu-satunya hal yang melekat di benak masyarakat adalah sebagai negara adidaya, kebijakan AS sangat bias, tidak sensitif, dan lembam di tingkat administratif. Amerika Serikat sekali lagi gagal memenuhi standar keadilan, gagal menunjukkan bahwa dia tidak mampu menjadi pemimpin sejati.

Tokoh terkemuka pemerintahan AS bahkan menyikapi serangan Israel ke warga sipil dengan cara yang paling tidak masuk akal, mengklaim bahwa "Israel memiliki hak untuk membela diri." Mereka setengah hati meminta “kedua pihak” untuk deeskalasi, seolah-olah ada dua pihak yang sama kuat yang saling bertikai.

Mengingat tujuan kebijakan luar negeri pemerintahan Biden untuk "membangun tatanan internasional yang multilateral dan adil", ketidakpedulian mereka dalam krisis ini telah meninggalkan kekecewaan besar. Sangat wajar jika banyak orang di seluruh dunia mulai mempertanyakan status kepemimpinan global AS dan hubungan "khusus" AS - Israel.

Elemen lobi

Dalam politik internasional, adalah hal biasa bagi negara-negara untuk bersekutu, di mana negara-negara yang lebih kuat memberikan dukungan militer, diplomatik, dan ekonomi kepada negara-negara yang lebih lemah dengan imbalan subordinasi.

Yang tidak lazim adalah negara-negara mempertahankan hubungan aliansinya tanpa batas waktu dan tanpa menetapkan persyaratan tertentu, seperti kepatuhan terhadap hak asasi manusia atau pemenuhan komitmen tertentu. Dalam politik internasional, negara memiliki kepentingan, bukan persahabatan permanen.

Hubungan militer dan ekonomi antara AS dan Israel termasuk abnormal, yang berdampak pada politik internasional. Setelah mendukung Israel, yang menginvasi tanah Palestina sejak tahun 1948, AS mulai mengirimkan bantuan ekonomi tahunan senilai USD3 miliar ke Israel pada 1970-an dan memberikan segala dukungan militer.

Dengan kesepakatan yang dicapai pada 2016, menjelang akhir masa kepresidenan Barack Obama, jumlah bantuan ekonomi dinaikkan menjadi USD3,8 miliar per tahun.

Obama, yang juga seorang liberal, dipaksa menandatangani perjanjian ini meskipun dia tidak menyukai politik sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Para ahli politik kerap mengaitkan hubungan khusus AS - Israel dengan dominasi lobi Yahudi dalam politik domestik, yang merujuk pada The Israel Lobby dan Kebijakan Luar Negeri AS, yang diterbitkan pada 2007 oleh Stephen Walt dan John Mearsheimer sebagai referensi.

Aktor yang paling menonjol dalam konteks ini adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), yang didirikan pada awal 1950-an, yang sekarang memiliki lebih dari 50.000 anggota. AIPAC berperan besar dalam pembentukan kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah.

Mereka memberikan tekanan yang signifikan pada anggota Kongres AS dengan menggunakan sumber daya keuangan dan manusianya yang luas. Untuk mempertahankan pengaruh mereka dan tidak dikucilkan secara politik, anggota Kongres mengupayakan segala hal agar tidak berbenturan dengan lobi Israel, dengan cara menghindari kritik apa pun terhadap Israel, bahkan ketika prinsip dan kepentingan mereka sendiri dipertaruhkan. Hal ini tampak dari kritik sekecil apa pun terhadap Israel yang pada akhirnya dianggap sebagai tuduhan anti-Semitisme.

Lobi Yahudi ini dapat berjalan tentunya karena bantuan banyak pihak. Sekutu paling kuat dari lobi tersebut adalah organisasi Kristen Injili. Pengaruh keyakinan mereka mengakar kuat dan sangat berdampak besar pada negara Yahudi, khususnya ideologi Zionis.

Mereka percaya bahwa Yesus Kristus akan kembali ke Bumi, sehingga orang-orang Yahudi harus membangun negara yang mencakup semua tanah yang dijanjikan Tuhan, seperti yang dinubuatkan dalam Alkitab.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement