REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM —Calon pengganti Benjamin Netanyahu, Naftali Bennett, Ahad malam kemarin, mendesak para pembicara di parlemen Israel (Knesset) untuk mengadakan rapat Pleno Rabu (9/6) ini. Tujuannya, untuk menggalang suara pada pemerintahan baru, sambil menyarankan agar Netanyahu bisa melepaskan Israel.
Pernyataan Bennett itu dilontarkannya setelah para pemimpin dari delapan partai yang kini berkoalisi membentuk calon pemerintahan baru. Kepada Netanyahu, Bennett menegaskan, rezim Israel tidaklah monarki, termasuk tidak ada satupun yang bisa memiliki hak memonopoli kekuasaan.
‘’Secara alami, rezim apapun bisa berkembang dan merosot setelah bertahun-tahun diganti,’’ ucap Bennett dikutip dari Times of Israel, Senin (7/6).
Tokoh dari partai Yamina itu menambahkan, pemerintahan baru bukanlah malapetaka ataupun bencana. Sebaliknya, menurut Bennet, perubahan pemerintahan itu adalah peristiwa normal dan dilakukan di setiap negara demokratis. “Kami ingin mengingat kebaikan, banyak kebaikan yang Anda lakukan selama pelayanan Anda [sebagai perdana menteri]” ucap Bennett.
Lebih jauh, kepada ketua Knesset, Yariv Levin, Bennett juga mendesak untuk tidak menunda pemungutan suara pada pemerintahan baru sampai pekan depan, melainkan menjadwalkannya pada Rabu ini.
"Itu yang pantas. Saya tahu Netanyahu menekan Anda… untuk memberikan lebih banyak hari untuk mencari pembelot… Itu mungkin untuk kepentingan Netanyahu… [tetapi] itu bukan untuk kepentingan negara," katanya.
Atas dasar itu, Bennet juga mengingatkan Yariv, jika dirinya telah bersumpah setia kepada negara, dan bukan kepada orang tertentu. Menurut Bennet, Netanyahu banyak mengatakan kebohongan tentang calon pemerintahan baru. Termasuk, saat pihaknya dituduh menyerah kepada Partai Islam Ra’am.
Hingga kini, pendukung pemerintah banyak menghadapi protes dan ancaman yang intens selama sepekan terakhir. Terlebih, ketika pemungutan suara Knesset tentang koalisi dijadwalkan akan diadakan pada 9 Juni atau 14 Juni mendatang.