Selasa 08 Jun 2021 02:24 WIB

GAPPRI Minta Pemerintah Kaji Rencana Revisi PP 109

GAPPRI menilai PP 109/2012 masih relevan di tengah turunnya produksi IHT

Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur. Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP 109/2012. Hal ini menyusul rencana pemerintah melakukan revisi PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Foto: ANTARA/Saiful Bahri
Petani menyiram tanaman tembakau di Desa Dasok, Pamekasan, Jawa Timur. Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP 109/2012. Hal ini menyusul rencana pemerintah melakukan revisi PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP 109/2012. Hal ini menyusul rencana pemerintah melakukan revisi PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Ketua umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan GAPPRI tidak setuju atas rencana revisi PP 109/2012. Hal ini mengingat ketentuan PP yang lama masih relevan dengan kondisi saat ini. “Karena itu, GAPPRI berharap PP 109/2012 tetap dipertahankan karena masih relevan dengan kondisi saat ini. Kami melihat bahwa pemerintah, khususnya Kemenkes, belum melakukan upaya konkret dalam mencegah perokok anak,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (7/6).

Terkait pelibatan pembahasan revisi PP 109/2012, Henry menyatakan asosiasi dan pelaku industri hasil tembakau (IHT) sampai saat ini tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah. Bahkan, pihaknya juga  belum menerima draf revisi PP 109/2012.

Merujuk Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, Pasal 96, setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparan pada setiap tahap perumusannya. Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi yang prosesnya sesuai kaidah Regulatory Impact Analysis (RIA).

“GAPPRI memandang, revisi PP 109/ 2012 justru akan memperburuk kondisi usaha IHT yang saat ini sudah terpuruk akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau tahun 2020 dan tahun 2021,” ucapnya.

Berdasarkan data resmi GAPPRI, tercatat 300 produk hukum yang dikenakan pada IHT, industri yang padat regulasi (fully regulated). Maka itu, GAPPRI berharap setiap regulasi yang dibuat selalu melibatkan para pemangku kepentingan. 

Di tengah pandemi Covid-19 dan iklim usaha yang tidak stabil ini, GAPPRI berharap industri hasil tembakau nasional tidak diganggu dengan isu-isu yang merugikan banyak pihak. Hal ini justru insentif pemerintah sangat dibutuhkan dalam kondisi saat ini agar ekonomi masyarakat bisa bertahan dalam situasi resesi global.

“Bahwa menjaga industri yang tersisa saat pandemi Covid-19 dengan daya tahan kuat seperti IHT perlu menjadi perhatian pemerintah. Ketika pemerintah perlu menjaga sisi demand (permintaan) dan supply (penyediaan) masyarakat, maka dukungan dibutuhkan bagi industri,” ungkapnya.

GAPPRI mendukung penindakan rokok ilegal secara extra ordinary yang melibatkan Bea Cukai dan aparat penegak hukum lainnya. Hal ini sangat penting mengingat dampak dari keberadaan rokok ilegal tidak hanya berupa ketidakadilan bagi para pelaku usaha yang legal, tetapi juga industri secara keseluruhan termasuk petani dan pekerja legal. 

“Kami menyadari bahwa perjuangan menahan laju peredaran rokok ilegal adalah perkara yang sangat menantang dan kerapkali mempertaruhkan nyawa,” kata Henry.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement