REPUBLIKA.CO.ID,- Jual beli data pribadi semakin marak terjadi. Dalam sejumlah kasus, seseorang meretas sistem suatu lembaga atau instansi layanan publik yang dengan tujuan memperoleh data publik atau konsumen untuk dijual.
Namun demikian memperoleh data pribadi juga biasa dilakukan dengan membelinya dari beberapa sumber data seperti vendor atau pameran, toko pulsa, penawaran promosi dan lainnya.
Lalu kepada siapa data pribadi biasanya dijual? Biasanya konsumen data ilegal adalah seperti perusahaan asuransi, jasa pinjaman online, marketing kredit, atau pun lainnya.
Dalam kasus terbaru berkaitan dengan kebocoran data BPJS Kesehatan sejumlah pihak menilai hal tersebut juga berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan data pribadi yang merupakan anggota kepesertaan BPJS. Terlebih bila data pribadi dan data medis rakyat dapat dimiliki pihak tertentu. Terlepas dari beragam kasus penjualan data pribadi, bagaimana Islam melihat jual beli data pribadi? Apakah itu sama dengan mencuri?
Ketua Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Masyhuril Khamis, menjelaskan dalam dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa pada dasarnya hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah selama memenuhi syarat dan tidak melanggar aturan sebagaimana ditetapkan syariat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 213 dan juga An Nisa ayat 29.
Maka menurut Kiai Masyhuril, kegiatan jual beli data juga diperbolehkan selama memenuhi ketentuan hukum syariat. Akan tetapi menurutnya bila jual beli data tersebut diketahui melanggar syariat atau diketahui bertujuan merugikan orang lain maka tidak diperbolehkan.
"Jual beli itu diperbolehkan jika memenuhi syarat dan tidak melanggar aturan. Termasuk jual-beli data ini jika kedua belah pihak saling setuju dan paham konsekuensinya. Akan tetapi jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merugikan orang lain, maka termasuk bentuk jual beli yang dihindari dalam islam," kata kiai Masyhuril kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.
Menurut Kiai Masyhuril yang juga Ketua Umum PB Alwashliyah menjelaskan kegiatan memperoleh data pribadi seseorang untuk kemudian dijual kepada konsumen data, kurang tepat bila disebut dengan mencuri. Sebab menurutnya data pribadi bukanlah sesuatu yang bernilai materil bagi pemiliknya. Hanya saja menurut Kiai Masyhuril penggunaan data pribadi seseorang tanpa seizin pemiliknya bisa menggangu dan merugikan pemiliknya. Terlebih karena privasi pemilik tidak terlindungi lagi.
Menurutnya jual beli data pribadi secara ilegal terutama memperolehnya dengan meretas dapat berdampak pada tidak terjaganya privasi seseorang. Padahal menurut kiai Masyhuril, Islam mengajarkan untuk menjaga setiap hal yang menjadi privasi diri serta berkewajiban menjaga privasi atau rahasia orang lain.
"Dalam Islam hak privasi itu merupakan hal yang sangat dijaga. Bahkan ketika seseorang wafat pun privasinya masih dijaga. Sehingga orang yang paling berhak memandikan hanya orang-orang terdekat yang dipercaya akan menyimpan dan melindungi aib sang janazah jika ada," katanya.
Karena itu, Kiai Masyhuril mengingatkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menginformasikan data pribadi terlebih yang bersifat privasi ke ruang-ruang publik. Hal ini agar menghindari penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung. Pada sisi lain ia berharap setiap layanan publik juga dapat memastikan untuk menjaga data setiap konsumennya.
"Sebaiknya ada penjagaan dari diri kita masing-masing, dengan tidak mudah menginput data pribadi kecuali kepada pihak-pihak yang memang bisa dipercaya. dan juga ada regulasi dari pemerintah yang melindungi hak privasi ini," katanya.