Jumat 11 Jun 2021 21:43 WIB

Muhammadiyah: PPN Pendidikan tidak Sejiwa Pancasila

PPN Pendidikan dinilai Muhammadiyah tak sesuai Pancasila.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
 Muhammadiyah: PPN Pendidikan Tidak Sejiwa Pancasila. Foto: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Muhammadiyah: PPN Pendidikan Tidak Sejiwa Pancasila. Foto: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkerabatan atas rencana penerapan PPN untuk bidang pendidikan. Sebagaimana draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengingatkan, pemerintah seharusnya paling bertanggung jawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk anggaran 20 persen. Ormas keagamaan justru meringankan beban dan membantu pemerintah.

Baca Juga

"Jadi, sudah semestinya diberikan penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan," kata , Jumat (11/6).

Haedar lihat, rencana penerapan PPN bidang pendidikan jelas-jelas bertentangan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai.

Lalu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen.

Baik dari APBN maupun APBD demi penuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

 

"Pemerintah termasuk Kemenkeu dan DPR mestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Haedar.

Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat. Lewat perpajakan yang nanti mematikan lembaga-lembaga yang selama ini banyak membantu rakyat kecil.

Serta, sebenarnya ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Semestinya pemerintah berkewajiban penuh menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat sebagaimana perintah konstitusi.

"Berarti, jika tidak menunaikannya secara optimal sama dengan mengabaikan konstitusi," kata Haedar.

 

Pemerintah malah perlu berterima kasih kepada ormas penyelenggara pendidikan yang selama ini membantu meringankan beban kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan program kerakyatan lainnya, bukan malah membebani dengan PPN.

Jika kebijakan PPN itu dipaksakan diterapkan, maka yang nanti mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi. Sehingga, pendidikan akan semakin mahal dan elitis.

"Dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan. Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Haedar.

Padahal, saat ini beban pendidikan Indonesia sangatlah tinggi dan berat, lebih-lebih di era pandemi covid. Di daerah-daerah 3T, bahkan pendidikan masih tertatih hadapi segala kendala dan tantangan, yang malah belum terdapat pemerataan oleh pemerintah.

Pendidikan Indonesia semakin berat hadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain, di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah. Kini mau ditambah beban PPN yang sangat berat, jadi moral pertanggung jawaban pemerintah kini dipertanyakan.

Konsep pajak progresif lebih-lebih di bidang pendidikan secara ideologis menganut paham liberalisme absolut. Sehingga, perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan jiwa Pancasila dan kepribadian bangsa yang mengandung spirit gotongroyong dan kebersamaan.

"Apakah Indonesia akan semakin dibawa pada liberalisme ekonomi yang mencerabut Pancasila dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup di Indonesia? Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh elit-elit di pemerintahan," kata Haedar.

Perumus konsep dan pengambil kebijakan mesti menghayati, memahami dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa. Jangan bawa Indonesia semakin menganut liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa.

Haedar meminta DPR dan elit parpol menunjukkan komitmen kebangsaan yang tinggi dengan bersatu menolak draf PPN di bidang pendidikan tersebut. Sebagai wujud komitmen kepada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan, dan masa depan pendidikan.

Lupakan polarisasi politik dan kepentingan politik lain demi menyelamatkan pendidikan yang kini sarat beban. Sekaligus, menyelamatkan Indonesia dari ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi, Pancasila, dan nilai luhur Indonesia.

"Perumus dan pembuat kebijakan negeri ini semestinya menjiwai konstitusi, Pancasila, dan denyut nadi perjuangan bangsa, termasuk peran kesejarahan Muhammadiyah dan organisasi kemasyarakatan yang sudah menyelenggarakan pendidikan dan perjuangan bangsa jauh sebelum republik ini berdiri," ujar Haedar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement