REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para pemimpin Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memperluas penggunaan klausul pertahanan Senin (14/6). Tambahan ini memasukkan tanggapan kolektif terhadap serangan di luar angkasa.
Pasal 5 perjanjian pendiri NATO menyatakan bahwa serangan terhadap salah satu dari 30 sekutu akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua. Sampai saat ini, itu hanya diterapkan pada serangan militer yang lebih tradisional di darat, laut, atau di udara, dan baru-baru ini di dunia maya.
Dalam sebuah pernyataan usai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Brussel, para pemimpin mengatakan mereka menganggap bahwa serangan ke, dari, atau di dalam ruang angkasa bisa menjadi tantangan bagi NATO. Upaya baru itu dapat mengancam kemakmuran, keamanan, dan stabilitas nasional dan Euro-Atlantik, dan bisa sama berbahayanya bagi masyarakat modern.
"Serangan semacam itu dapat mengarah pada penerapan Pasal 5. Keputusan kapan serangan semacam itu akan mengarah pada penerapan Pasal 5 akan diambil oleh Dewan Atlantik Utara berdasarkan kasus per kasus," kata pernyataan bersama NATO.
Sekitar 2.000 satelit mengorbit bumi dengan dari setengahnya dioperasikan oleh negara-negara NATO. Satelit itu memastikan segalanya mulai dari ponsel dan layanan perbankan hingga prakiraan cuaca dan beberapa digunakan militer untuk menavigasi, berkomunikasi, berbagi intelijen dan mendeteksi peluncuran rudal.
Pada Desember 2019, para pemimpin NATO mendeklarasikan ruang angkasa sebagai domain kelima operasi aliansi, setelah darat, laut, udara, dan dunia maya. Banyak negara anggota khawatir dengan semakin agresifnya perilaku di luar angkasa oleh China dan Rusia.
Sekitar 80 negara memiliki satelit, termasuk perusahaan swasta. Pada 1980-an, hanya sebagian kecil dari komunikasi NATO melalui satelit. Sedangkan sekarang setidaknya 40 persen. Klausul pertahanan kolektif NATO hanya diaktifkan sekali. Ketika itu para anggota berkumpul di belakang Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001.