REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Filipina sangat menyesalkan langkah penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang meminta otorisasi yudisial untuk melanjutkan investigasi terkait perang narkoba Filipina.
Filipina menekankan Panel Peninjau Antarlembaga yang dipimpin oleh Sekretaris Kehakiman telah dibentuk untuk menyelidiki kembali kasus-kasus yang melibatkan korban jiwa dalam kampanye melawan narkoba.
Menurut Departemen Luar Negeri (DFA) Filipina, panel tersebut harus diizinkan untuk menuntaskan pekerjaannya. Filipina menilai ICC adalah pengadilan pilihan terakhir.
DFA juga berpandangan Statuta Roma, perjanjian yang menciptakan ICC, mewajibkan pengadilan dan kejaksaan tunduk pada yurisdiksi pidana di negara yang bersangkutan, selama proses hukum masih berjalan di negara itu.
“Tindakan tergesa-gesa jaksa penuntut umum merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip saling melengkapi, yang menjadi prinsip dasar Statuta Roma,” kata DFA dalam keterangannya, Selasa.
Pemerintah Filipina mengklaim telah melakukan berbagai langkah konkret untuk mengatasi kekhawatiran dalam pelaksanaan kampanye anti-narkoba. Salah satunya yakni Filipina baru saja menyelesaikan Program Bersama tentang Hak Asasi Manusia dengan PBB.
Filipina juga mengkritik langkah Jaksa Utama ICC Fatou Bensouda yang mengumumkan kelanjutan investigasi tersebut jelang akhir jabatannya. “(Pengumuman Fatou) mendahului hak prerogatif penggantinya untuk membuat evaluasi penuh atas kasus-kasus yang akan dituntutnya,” tulis DFA.
Pada 14 Juni 2021, Fatou mengumumkan pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di Filipina sudah selesai dan telah meminta izin pengadilan untuk melanjutkan investigasi. Adapun proses hukum ICC dimulai dari pemeriksaan pendahuluan, investigasi, tahap pra-persidangan, tahap persidangan, tahap banding, dan penegakan hukuman.
Selama tahap pemeriksaan pendahuluan, Kantor Kejaksaan menentukan di mana ada cukup bukti yang akan berada dalam yurisdiksi ICC. Fatou mengatakan pihaknya sudah melakukan pemeriksaan pendahuluan sejak 8 Februari 2018 dan telah menganalisis sejumlah informasi.
Hasilnya, Fatou meyakini ada dasar yang masuk akal bahwa terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yakni pembunuhan di Filipina antara 1 Juli 2016-16 Maret 2019 dalam konteks kampanye “war on drugs” pemerintah Filipina. Meskipun Filipina telah keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, menurut Fatou, pengadilan tetap memiliki kewenangan atas kejahatan yang diduga terjadi di sebuah negara ketika negara itu masih menjadi negara anggota Statuta Roma.
Pemerintah Filipina mencatat sekitar 6.600 orang telah tewas oleh polisi dalam tembak-menembak dengan tersangka pengedar narkoba sejak Presiden Filipina Rodrigo Duterte terpilih pada 2016. Perang narkoba selama tiga tahun telah menimbulkan pertumpahan darah di Filipina, dengan laporan pembunuhan para tersangka oleh polisi dan pria bersenjata bertopeng hampir setiap malam.