REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sudah puluhan tahun konflik terjadi di Papua. Tentu ada penyebabnya dan apa jalan keluarnya? Mantan aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) John Norotouw dan dosen Universitas Negeri Medan (UNM) Dr Rosmaida Sinaga.
John Norotouw menerangkan konflik ini terjadi karena peninggalan Belanda terhadap warga Papua. Belanda memberikan konsep kepada masyarakat Papua untuk merdeka dan menguasainya. Sehingga terjadi kelompok tertentu ingin merdeka karena janji Belanda.
"Negara Papua, itu tidak ada. Inilah yang terjadi selama 58 tahun terus menerus konflik dengan pemerintah. Negara boneka suatu yang tidak benar. Padahal itu konspirasi Belanda," kata Jhon saat webinar dengan tema “Perdamaian dan Kedamaian di Papua”, Kamis (1/7)
Dia mengatakan bahwa Tanah Papua 100 persen masuk ke dalam pangkuan Indonesia. Hal itu diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan kedaulatan Papua sudah final.
Dia mengatakan, tanah Papua lebih aman dan lebih Indonesia. Di mana, di Papua terdapat orang Papua dan orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
"Masyarakat Papua sedang membangun perdamaian. Apa lagi membangun negara, belum ada pengalaman. Papua tidak akan Merdeka. Papua sedang bangun sendiri kearifan lokalnya,” tutur dia.
Sementara itu, Dosen tetap Unhan Dr. Budi Pramono menegaskan bahwa Papua bagian wilayah kedaulatan Indonesia. Karena wilayah Papua merupakan wilayah jajahan Kolonial Belanda.
Sementara itu, Rosmaida Sinaga menyatakan kondisi Papua sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Sehingga dalam hal pembangunan mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah. Khususnya dalam hal pendidikan, perlu adanya pembenahan agar Papua ke depan menjadi lebih baik
Dia mengaku sudah 25 tahun mengajar di Papua dari 1992. Pada waktu itu tidak ada SD Inpres yang sebagus dengan yang ada di Pulau Jawa. "Pertanyaannya apa yang salah dengan kebijakan Papua?” kata dia.
Dirinya mengisahkan, menjadi dosen di Universitas Cenderawasih, menjumpai guru yang di pedalaman masih menggunakan kurikulum yang lama. Padahal, seharusnya sudah memakai K-13.
Memang diakui, kata dia, upaya pemerintah dengan pembangunan di Papua, bagaimana mama (Ibu-ibu) berdagang di lapak atau tempat yang layak. Tidak hanya bangun sekolah saja.
Namun ini ada ketidakseimbangan dengan di Pulau Jawa. “Pembangunan yang kita rasakan itu baru terasa setelah Otsus Papua atau 2001. Sebelumya jauh harapan,"
Dirinya menilai masih dijumpai adanya fasilitas rendah yang rendah seperti adanya gangguan internet yang kerap terjadi. Di tambah lagi, para guru tidak punya jaringan internet bagaimana mereka mengajar.
Di pedalaman Papua, lanjutnya, masih ada dijumpai siswa yang tidak punya buku atau hanya punya satu buku tulis. Belum lagi, ada siswa yang harus berjalan berkilometer menuju sekolah. Sehingga, secara fisik lelah dan kurang fokus dalam belajar.
Dijumpai pula, ujar dia, mereka hampir tidak sekolah, karena gurunya ga ada. Parahnya, ada satu guru di satu sekolah, kesejahteraan sangat kurang.
“Kalau kita lihat guru itu bukan karena keinginannya dan bukan panggilan jiwa. Mengapa mutu pendidikan di Papua rendah salah satunya karena bukan panggilan jiwa, dan ada yang hanya tinggalkan tugas. Apalagi, kalau perempuan kalau suami pindah dia ikut pindah," kata dia.
Rosmaida mengungkapkan, metode pendidikan berasrama dinilai cukup membantu menghasilkan kualitas pendidikan. Pasalnya, anak-anak yang tempat tinggalnya jauh bisa belajar dengan penuh di asrama. Sebagain tokoh nasional dari Papua juga berasal dari pendidikan asrama seperti Fredy Numberi dan lainnya.
Rosmaida berpandangan, jika pembangunan dan pendidikan diperbaiki, kesejahteraan di Papua akan naik. Pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi akan membuat Papua mampu bersaing dengan daerah lain. Dengan demikiaan ada keseteraan antara rakyat Papua dan daerah lainnya. “Apabila pendidikan diperbaiki mereka bersaing, bukan kalah saing tuntut keistimewaan," kata dia.
Dia juga berpendapat, Nasionalisme akan berkembang apabila mereka merasa bagian dari NKRI. Untuk itu, kebijakan perlu diperbaiki dengan meningkatkan kesejahteraan.