REPUBLIKA.CO.ID, CATO -- Nelayan Filipina Randy Megu tidak gentar jika berhadapan dengan badai di Laut China Selatan. Namun kini ada sesuatu yang lebih ia takutkan yakni melihat kapal maritim China di cakrawala.
Lima tahun setelah pengadilan arbitrase internasional membantah klaim China di perairan tempat Megu memancing, laki-laki berusia 48 tahun itu mengatakan kini ia lebih sering bertemu dengan kapal-kapal China dibanding sebelumnya.
"Saya sangat takut," kata Megu, menggambarkan bagaimana kapal China telah melacak perahu cadik kayunya selama tiga jam sekitar 260 kilometer dari pinggir pantai pada Mei lalu, Jumat (9/7).
Ia mengatakan nelayan lain juga sudah melaporkan kapal mereka ditabrak atau diledakkan dengan meriam air saat sedang bekerja di perairan yang China klaim sebagai wilayah historis mereka. Tindakan itu dilakukan walaupun putusan pengadilan di Den Haag pada 2016 lalu membantah hal tersebut.
China menolak putusan tersebut dan tetap mengklaim sebagian besar Sembilan Titik Putus-putus yang juga diklaim Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Kementerian Luar Negeri China belum merespons permintaan komentar.
Maret lalu Filipina mengajukan komplain inkursi China. Manila mengatakan lebih dari 200 kapal milisi China masuk ke Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mereka yakni sekitar 200 mil dari pinggir pantai. Diplomat-diplomat China mengatakan kapal-kapal itu menghindari gelombang laut, selain tidak ada milisi di kapal-kapal tersebut.
"Data di sini sangat jelas, kapal-kapal Pasukan Penjaga Pantai dan milisi China berada di ZEE Filipina selama lebih dari lima tahun yang lalu," kata penelitian dari Center for Strategic and International Studies, Greg Poling.
Dalam jajak pendapat Juli 2020 lalu, 70 persen responden Filipina ingin pemerintah tegas menolak klaim China di Laut China Selatan. "Kami dengan tegas menolak upaya melemahkannya, bahkan menghapusnya dari hukum, sejarah, atau ingatan kolektif kami," kata Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin dalam pernyataannya bulan lalu.
Sejak 2016 lalu Filipina sudah mengajukan 128 protes diplomatik ke China atas aktivitas mereka di Laut China Selatan. Kapal-kapal penjaga pantai dan biro kelautan harus melakukan patroli 'kedaulatan' di ZEE Filipina.
Namun di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte yang menjadikan hubungan baik dengan China sebagai inti dari kebijakan luar negerinya, Filipina tidak berbuat banyak dalam menekan klaim mereka di Laut China Selatan. Presiden yang terkenal kerap berbicara keras itu mengatakan 'percuma' untuk mencoba menentang tetangga raksasa itu.
Setelah beberapa anggota kabinetnya berbicara cukup lantang mengenai Laut China Selatan, Duterte melarang mereka berbicara. "China lebih pegang kendali, satu-satunya yang pemerintah Duterte tunjukan adalah belum ada insiden besar. Jika anda terus menyerah pada perundung tentu tidak ada perkelahian," katanya.
Penjaga Pantai dan Kementerian Pertahanan Filipina tidak merespons permintaan komentar. Kehadiran kapal-kapal China juga meningkat di bagian lain Laut China Selatan. Beijing terus melengkapi persenjataan di pulau buatan dengan pelabuhan keamanan, landasan pacu, dan rudal darat-ke-udara.
Konfrontasi dengan Vietnam telah memundurkan proyek-proyek energi. Malaysia mengeluhkan aksi kapal-kapal China. Kehadiran mereka juga memicu kekhawatiran Indonesia walaupun Jakarta tidak ikut mengajukan gugatan.
Operasi kebebasan navigasi yang dilakukan Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) untuk melawan klaim China tidak membuat Beijing mundur. Negeri Tirai Bambu tetap mengerahkan kapalnya di sekitar Filipina atau tempat lain. Sebelum pemilihan 2016, Duterte pernah mengatakan akan membela negaranya dari klaim China di Laut China Selatan.
Tahun depan masa jabatan presiden selama enam tahun akan berakhir. Namun rumor yang mengatakan ia akan menjadi wakil presiden atau digantikan putrinya menimbulkan keraguan kebijakan pemerintah Filipina akan berubah.