REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lonjakan kasus harian Covid-19 sebulan belakangan ini, membuat pengujian (testing) dan pelacakan (tracing) menjadi unsur penting dalam upaya pengendalian pandemi.
Namun sayangnya, jumlah testing Covid-19 di Indonesia masih sedikit lantaran terhambat oleh harga yang terlalu mahal.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP KNPI), Haris Pertama, mengatakan tes dengan polyemerase chain reaction (PCR) yang ditetapkan di rumah sakit dengan harga sekitar Rp 600 ribu hingga Rp1 juta masih terbilang mahal. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kata dia, harga tersebut tergolong tinggi.
"Ini menyiksa rakyat, di mana saat rakyat mau sehat dan rajin cek kesehatan tapi disisi lain mahalnya PCR bisa membuat masyarakat menjerit," ujar Haris di Jakarta, Selasa (20/7).
Haris meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) harusnya berperan mengendalikan harga tes PCR. Bahkan kalau bisa, tes PCR digratiskan agar semakin banyak jumlah tes, dan pandemi bisa terkendali.
Dia menyebut, pemerintah negara lain telah melakukan berbagai upaya untuk menekan harga tes sehingga bisa terjangkau.
"Negara lain kan begitu (memberi subsidi). Malaysia, Singapura, Vietnam, dan India. Karena ini pandemi, jadi tanggung jawab negara. KNPI memohon kepada pak Jokowi untuk turunkan harga PCR dan kalau perlu menggratiskan," kata Haris.
Dia merasa bisa memahami ada warga yang keberatan dengan biaya tes PCR mandiri, karena ingin mengetahui dirinya sehat dan bebas Covid-19.
"Karena menginginkan sehat harus bayar sebesar itu, lalu kalau ternyata dia positif maka bisa dua sampai tiga kali cek PCR sampai dia benar-benar sehat. Untuk PCR saja masyarakat akan mengeluarkan kocek jutaan rupiah. Bagaimana ini?," kata Haris.