REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Bentrokan antara pendukung dan penentang Presiden Tunisia Kais Saied meletus, Senin (26/7), di tengah ketegangan atas keputusan presiden baru-baru ini untuk membubarkan pemerintah dan menangguhkan parlemen.
Pada Ahad (25/7), Saied menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi, membekukan parlemen, dan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru. Menurut koresponden Anadolu Agency, tentara dan pasukan keamanan Tunisia mendirikan pagar pembatas di jalan-jalan menuju gedung parlemen di Tunis untuk memisahkan antara pendukung dan penentang presiden Tunisia.
Bentrokan itu berujung ricuh, sementara tentara berusaha menghalau upaya pemrotes memanjat gerbang dan memasuki kompleks parlemen. Pendukung gerakan Ennahda - yang memegang 53 kursi di 217 anggota parlemen - mengecam keputusan Saied dan menyebutnya sebagai "kudeta". Di sisi lain, para pendukung mengelu-elukan keputusan Saied sebagai "revolusi", terutama setelah politisi gagal mengatasi krisis berkepanjangan di negara itu.
Dalam pidatonya pada Ahad (25/7), Saied mengatakan dia akan menangguhkan kekebalan semua anggota parlemen dan mengambil alih kantor kejaksaan. Dia mengklaim bahwa dia telah mengambil keputusan setelah berkonsultasi dengan Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi.
Tunisia jatuh dalam krisis politik sejak 16 Januari, ketika Mechichi mengumumkan perombakan kabinet tetapi Saied menolak mengadakan upacara pelantikan menteri baru. Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara Arab yang berhasil melakukan transisi demokrasi di antara negara-negara Arab lainnya yang juga memiliki sejarah revolusi rakyat dalam menggulingkan rezim yang berkuasa, termasuk Mesir, Libya, dan Yaman.
*Ditulis oleh Mahmoud Barakat