REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir Desember 2019, virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) pertama kali dilaporkan keberadaannya di Wuhan, China. Para ilmuwan kemudian mengidentifikasi virus RNA ini sebagai virus sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 dan disebut sebagai SARS-CoV-2 seperti dikenal saat ini.
Karena mutasi virus yang cepat, kemunculan varian terus dilaporkan. Diantara varian yang dilaporkan dan dikategorikan sebagai varian yang menjadi perhatian (varian of concern/VOC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Alpha, Beta, dan Delta.
Sementara, varian lainnya yang masuk dalam varian of interests (VOI), diantaranya adalah Eta, Kappa, Lambda, dan Iota. Para peneliti mengawasi prevalensi varian ini karena mereka dapat menimbulkan ancaman global.
Dilansir News-Medical, varian SARS-CoV-2 lebih berbahaya dibandingkan jenis virus aslinya. Mutasi ganda dalam protein Spike dari VOC dan VOI telah dilaporkan resisten terhadap antibodi penetral yang ditimbulkan pasca-vaksinasi atau infeksi COVID-19.
Hingga saat ini, semua vaksin yang mendapat izin penggunaan darurat (EUR) dari berbagai badan pengawas ditargetkan untuk protein Spike. Tidak semua mutasi tidak mengganggu efektivitas respons imun yang diinduksi vaksin. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini mengungkapkan bahwa semua mutasi tidak selalu memiliki efek negatif pada kemanjuran vaksin.
Namun, studi yang dilakukan melihat Lambda sebagai varian SARS-CoV-2 yang paling berbahaya. Varian ini pada awalnya secara dominan menyebar di negara-negara Amerika Selatan yang meliputi Chili, Peru, Argentina, dan Ekuador.
Menurut database Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), varian Lambda telah dilaporkan di 26 negara di seluruh dunia. Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan di Chile telah menunjukkan bahwa sekitar 60 persen dari populasi telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19, namun lonjakan cepat dalam kasus COVID-19 tetap terjadi.
Varian Lambda terlihat mampu lolos dari respons imun yang diinduksi melalui vaksinasi. Dalam studi ini, para peneliti telah mengungkapkan bahwa penyisipan mutasi RSYLTPGD246-253N di NTD protein Lambda S dikaitkan dengan peningkatan virulensi. Mutasi ini bertanggung jawab atas penyebaran cepat varian Lambda di negara-negara Amerika Selatan.